Friday, November 17, 2006

Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang

Latar Belakang

Saat ini sedang dibahas draft kereteria sawit berkelanjutan (RSPO) dalam sebuah forum diskusi yang melibatkan pengusaha perkebunan, pedagang minyak CPO, perwakilan konsumen dan NGO sosial. Dalam rangka itu tim studi yang terdiri dari HuMa, ICRAF, Sawit Watch dan FPP Englan melakukan kunjungan lapangan untuk melihat realitas masalah-masalah perkebunan khususnya masalah pelepasan lahan untuk perkebunan di tiga Propinsi yaitu Sumbar, Lampung dan Kalbar.

Draft 1 laporan ini merupakan gambaran masalah-masalah perbunan di Kab. Pasaman Barat, khususnya di Nagari Kapar yang diwilayah adatnya terdapat PT. Permata Hijau Pasaman (PT.PHP), salah satu anak perusahaan dari Wilmar Group-Inggris.

Drfat 1 laporan ini memberikan cukup tekanan realitas lapangan tentang gesekan-gesekan hukum positif nasional (agraria) yang memfasilitasi hadirnya perkebunan besar dengan hukum adat yang berlaku secara umum di Minangkabau dan secara khusus hukum adat di Kapar. Bagaimana hukum adat Minangkabau dan Hukum Adat yang berlaku khusus di Pasaman dan Nagari Kapar mengatur tentang hak ulayat masyarakat adat, bagaimana pergeseran yang timbul dilapangan akibat kehadiran perkebunan besar, bagaimana para aktor membangun relasi (pemerintah, investor perkebunan, ninik mamak dan anak kemenakan). Juga memberikan gambaran bagaimana wajah konflik yang terjadi khususnya di nagari Kapar.

Pada bagian akhir, draft 1 laporan ini berusaha mengemukakan catatan sementara dari temuan-temuan lapangan setelah sedikit melihat dari kacamata hukum positif posisi kasus Kapar.

I. Beberapa Aturan Prinsipil di Minangkabau

Sebelum kita membahas kasus Kapar secara spesifik, perlu ditinjau selintas tentang aturan-aturan adat yang prinsipil yang mengatur Masyarakat Adat Minangkabau, baik pada tingkat terendah pada keluarga inti maupun pada tinggat tertinggi di level Minangkabau. Aturan-aturan ini juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan agraria dan sumberdaya alam, atau lazim disebut dengan ulayat.

Kasus Kapar yang menghadapkan masyarakat nagari Kapar dengan sebuah gurita perkebunan (Wilmar Group) adalah sebuah bentuk dari persinggungan dan pergesekan antara hukum adat Minangkabau dengan hukum positif nasional. Dimana hukum adat Minangkabau tersebut, menjadi lebih spesifik di nagari Kapar.

Sehingga ibarat berjalan, sebelum sampai ke Nagari Kapar, tentulah tidak dapat dihindarkan melewati Minangkabau. Sebelum menyentuh masalah Kapar, perlu disentuh aturan adat yang memayunginya.

a. Dimanakah Minangkabau ?

Secara garis besar, daerah Minangkabau digambarkan dalam sejarah lisan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi-kegenerasi. Penggambaran tersebut termuat dalam Tambo . Tambo digambarkan bahwa kelompok awal yang kemudian membangun sebuah komunitas yang bernama masyarakat adat Minangkabau berasal dari puncak Gunung Merapi. Sebuah gunung yang berada nyaris ditengah-tengah wilayah Minangkabau. Kelompok ini kemudian turun dan membuat pemukiman-pemukiman baru disekeliling Gunung Merapi tersebut. Dalam tambo disebutkan;
“ Dima titiak palito, dari telong nan batali. Dima asa niniak kito, Dari puncak gunuag Marapi”.

Selanjutnya Tambo mendeskripsikan daerah asal di puncak Gunung merapi tersebut sebagai berikut;
“ Dilagundi nan baselo, dakek bukik siguntang-guntang, disinan lurah satuka banang, itulah lurah indak barayia, disitulah bukik nan indak barangin-angin, disitulah banto nan barayun, dibawah batu hamparan putiah, disitulah sirangkak nan badangkang, disitulah buayo putiah daguak, dimano ayia basimpang tigo ” .
Christine Dobbin dalam bukunya Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang berubah, Sumatera Tengah 1784-1847 memberikan deskripsi pemukiman masyarakat adat Minangkabau sebagai berikut

” Pusat daerah pemukiman Minangkabau terdiri atas empat lembah didataran tinggi, dalam pelukan Bukit Barisan disatu titik yang mencapai lebar 50 mil dan menjadi dua deretan pegunungan yang terpisah. Mereka membentuk suatu daerah kecil yang lebarnya kira-kira 18.000 mil persegi, yaitu kira-kira 11 persen dari tanah dipulau itu (Sumatera). Lembah yang diujung barat terletak pada ketinggian 3.000 kaki diatas permukaan laut, sedangkan lembah diujung timur condong keselat Malaka, mencapai ketinggian tidak lebih dari 1.500 kaki. Semuanya memiliki dasar yang lembab, berawa atau sebagian tertutup dengan telaga, dan tentunya pada suatu ketika pernah seluruhnya tertutup oleh air yang secara bertahap menurun, suatu perkembangan yang terungkap dalam kisah rakyat Minangkabau. Keempat lembah masing-masing terpisah dari lainnya oleh bukit-bukit berbatu, dan masing-masing berada didekat sebuah gunung berapi.

Pada ketinggian 3.000 kaki diatas permukaan laut, lembah Agam terletak di kaki Gunung Singgalang, sebuah gunung berapi yang menjulang tinggi diatas lembah dengan ketinggian 9.400 kaki; letaknya hampir diatas katulistiwa.

Disebelah tenggara Lembah Agam terletak Lembah Tanah Datar; keduanya dipisahkan oleh kerucut puncak Gunung Merapi, yang tingginya mencapai 9. 500 kaki dan merupakan titik yang paling anggun dalam pemandangan alam Minangkabau. Gunung ini menurut sejarah adalah tempat pemukiman pertama orang-orang Minangkabau, yang berangsur turun kelembah-lembah setelah tidak begitu berpaya-paya dan tergenang air lagi.

Dari Gunung Merapi menurun perlahan-lahan ke bawah, sejajar dengan Tanah Datar yang terpisah oleh pegunungan rendah, terletak lembah Singkarak-Solok. Pada dasar lembah ini terdapat Danau Singkarak, berbentuk bulat telur, panjangnya kira-kira 12,5 mil dengan lebar maximum 5 mil, yang mengalirkan airnya kesisi timur melalui sungai yang akhirnya menyatu dengan salah satu sungai terbesar di pantai Timur Sumatera. Dilembah ini juga terdapat gunung berapi, karena pada sebelah barat laut berbatyasan dengan Gunung Talang yang menjulang 4.500 kaki di atas permukaan laut.

Lembah keempat terletak jauh disebelah timur, sejajar dengan Agam, disebut dengan Lima Puluh Kota dan merupakan lembah terendah diantara keempat lainnya dengan ketinggian tidak lebih dari 1.550 kaki. Lembah ini condong perlahan-lahan kepantai timur, dan diujung tenggara berbatasan dengan Gunung Berapi Sago yang tingginya 5.000 kaki diatas permukaan laut. Barisan pegunungan yang membatasi tiap lembah memperkuat perbedaan-perbedaan geografis lainnya, dan memungkinkan masing-masing mengembangkan identitas sosialnya sendiri. Namun walaupun ada faktor-faktor pembeda yang jelas, keempat lembah secara historis dianggab sebagai satu kesatuan oleh orang-orang Minangkabau; lembah-lembah ini adalah darat atau tanah kampung halaman orang Minangkabau dan dalam arti yang lebih luas lagi menjadi Alam Minangkabau atau dunia Minangkabau. Semua yang diluarnya, termasuk lembah-lembah kecil lainnya didatran tinggi, dengan danau, sungai dan gunung-gunung, masing-masing yang terletak di sebelah barat laut dan tenggara, merupakan rantau, daerah garis depan, yang juga didiami orang Minangkabau, tetapi tidak sepenuhnya termasuk Dunia Minangkabau “ .
Dalam konteks ini, pernyataan Dobbin diakhir kalimat diatas yang menyatakan ” tidak sepenuhnya termasuk Dunia Minangkabau” sangat penting artinya, karena menunjukkan seperti apa nagari-nagari asal dan nagari-nagari yang tidak sepenuhnya termasuk dunia Minangkabau atau lazim disebut dengan sebutan ”rantau” diatur. Nagari-nagari rantau terletak diluar kawasan asli seperti (luhak) Agam, Limapuluh, Tanah Datar dan Solok. Dimana pengaturan kawasan asli dan rantau ini sangat berbeda, seperti yang diungkapkan oleh adat seperti
”Luhak Ba Pangulu, Rantau Barajo” .
Nagari-nagari pada daerah asal (luhak) Agam, Limapuluh, Tanah Datar dan Solok tunduk pada dua stelsel hukum yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sedangkan nagari-nagari di wilayah rantau, tunduk pada ketentuan adat ber-raja. Tapi sebelum masuk pada bagian tersebut, marilah kita lihat terlebih dahulu beberapa hal mendasar tentang Minangkabau.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Republik Indonesia berdiri. Terjadi peralihan kekuasaan dari penjajah kepada Bangsa Indonesia. Dengan gerakan cepat, pemerintahan Soekarno membentuk wilayah-wilayah administratif dibawahnya. Pulau Sumatera dijadikan satu provinsi dan T. M. Hasan diangkat sebagai gubernur pertama Sumatera. Dengan lahirnya Provinsi Sumatera, maka secara otomatis, Minangkabau termasuk kedalam salah satu wilayah di Provinsi baru tersebut. Wilayah Minangkabau secara administratif dipandang sebagai sebuah kerisidenan dibawah kekuasaan Gubernur Sumatera.

Berturut-turut dengan keluarnya UU N0. 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dalam Lingkungan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Tengah" (Lembaran-Negara Tahun 1957 NO. 77) yang diikuti dengan UU Darurat NO. 21 tahun 1957 dan UU No 58 tahun 1958 (58/1958) dan UU No 61 tahun 1958 (61/1958), terjadi berbagai perubahan bentuk administrasi pemerintahan dan pembagian wilayah di Sumatera Tengah dan melahirkan Sumatera Barat.Sebagian wilayah Minangkabau kemudian dipecah kedalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data kehutanan, Luas Propinsi Sumatera Barat adalah 4.229.730 Ha yang sebagian besar (79,92 %) berupa pegunungan dengan topografi berbukit dan bergelombang. Wilayah tersebut terdiri dari hutan lindung, hutan perlindungan dan pelestarian alam (PPA) dan hutan produksi, serta sebagian lainnya untuk budidaya pertanian dan keperluan lainnya. Karena keadaan dan potensi alam yang demikian, maka Propinsi Sumaera Barat sebagian besar berfungsi sebagai kawasan konservasi serta merupakan perlindungan bagi hulu-hulu sungai yang berpengaruh terhadap tata air dan perlindungan untuk daerah hilir yang berada di wilayah Propinsi Riau dan Jambi.


b. Karakteristik Masyarakat Adat Minangkabau

Penggambaran karakteristik masyarakat adat Minangkabau perlu dilakukan, karena karakteristik dan sifat dasar mempengaruhi respon mereka terhadap dinamika sosial dilingkungannya. Untuk menggambarkan karakteristik masyarakat adat dan tipology masyarakat adat Minangkabau, Rusli Amran menulis sebagai berikut :
“ Dalam laporan-laporan De Stuers, orang-orang disana terkenal sebagai tidak mempunyai perasaan rendah diri sama sekali terhadap Belanda. Mereka biasa saja menegur De Stuers di jalan, menyetop dan minta menyalakan rokok dari api cerutu yang sedang dihisap Residen dan Komandan Militer tersebut. Malah Jendral Van Swieten (pengganti Michaels sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat) menganggab sudah baik kalau diminta terlebih dahulu. Kadang-kadang mereka berani menarik cerutu itu begitu saja dari mulut seorang Belanda” .

Masyarakat Adat Minangkabau adalah komunitas egalitarian. Karena itulah kemudian di Minangkabau terbentuk pemerintahan rakyat. Masyarakat adat Minangkabau tergabung dalam tata pemerintahan yang menggambarkan ikatan politis, geneologis, dan teritorial, bernama Nagari. Tata kehidupan diatur sedemikian secara egaliter, berdasarkan ketentuan adat Minangkabau. Ketentuan adat ini tidak hanya mengatur soal pemerintahan rakyat/pemerintahan adat saja, tetapi juga mengatur persoalan persoalan agraria. Pengelolaan sumber-sumber agraria ini juga didasarkan pada prinsip egalitarian, komunal dan berkelanjutan.

Nagari tidak ubahnya sebuah republik kecil yang berdampingan dengan republik kecil lain dalam satu kesatuan simbolik yang disebut dengan Alam Minangkabau. Nagari yang dipimpin oleh presidium pangulu-pangulu sebagai wakil/representasi dari rakyat/ anak kemenakan. Presidium ini kemudian mempunyai hak mengatur tata kehidupan rakyat berdasarkan musyawarah dibalai adat. Presidium pangulu-pangulu ini juga mengatur bagaimana hubungan antar nagari, apakah itu soal pengelolaan sumber-sumber agraria, pertahanan, keamanan, maupun perdagangan. Tidak jarang antara nagari-nagari yang berdekatan kemudian membentuk konfederasi dengan maksud-maksud yang tersebut diatas. Dalam hal pemerintahan adat, rakyat (anak kemenakan) akan selalu menjalankan fungsi kontrol yang tetap, sebab pada dasarnya pangulu didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting dan ketentuan adat Minangkabau juga memuat ketentuan normatif maupun seremonial dimana pangulu dapat dipecat karena beberapa kesalahan tertentu, apakah itu berhubungan dengan kesusilaan maupun berhubungan dengan pengelolaan sumber-sumber agraria dalam wilayahnya.

Kembali kepada karakteristik Masyarakat Adat Minangkabau. Pola hidup mereka didasarkan kepada filosofi yang lahir dari pengamatan mereka selam berinteraksi dengan alam. Alam menurut Masyarakat Adat Minangkabau, tidak hanya sebagai tempat tinggal, berusaha dan tempat berkubur, tetapi alam juga dijadikan sebagai guru untuk hidup selaras dengan lingkungannya. Masyarakat Adat Minangkabau tidak pernah mimpi dan ingin untuk menundukkan alam. Mereka lebih memilih untuk menyelaraskan hidupnya dengan alam. Falsafah “Alam Takambang Menjadi Guru” ini kemudian mendasari sikap dan tindak tanduk mereka dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Jika digali dari sisi penamaan, Minangkabau dapat dipisahkan menjadi dua kata yaitu; Minang dan Kerbau. Minang mengandung makna; Minang : Cerdik, Alim, Arif dan Bijaksana. Sedangkan Kerbau sebagai binatang ia hanya memiliki falsafah hidup yaitu; Makan, Minum, Buang Air Besar/Kecil dan Nafsu Seksual. Perpaduan kedua hal ini, ibarat sebuah mata uang. Keduanya harus seimbang, Kerbau tidak boleh mendahului Minang, karena akan terjebak kepada kenistaan dan kehancuran. Tetapi sebaliknya, Minangpun tidak boleh membunuh Kerbau, karena akan lari dari kodrat kemanusiaan.
Kecerdikan orang Minangkabau tergambar dalam falsafah hidup
“Taimpik ndak diateh, Takuruang ndak Dilua, Jalan ba Duo ndak Ditangah, Bajalan Surang ndak Daulu, Tibo di labuah bagageh”

Falsafah hidup yang tergambar dalam pepatah adat diatas tentu tidak mungkin kata perkata. Falsafah diatas menunjukkan kemampuan survive masyarakat adat Minangkabau untuk mensiasati sebuah kondisi sehingga posisinya menjadi menguntungkan. Sesulit apapun sebuah kondisi, mereka harus mengakalinya keadaan tersebut menjadi keadaan yang menguntungkan. Kata Alim menunjukkan bahwa masyarakat adat Minangkabau adalah masyarakat adat yang religius. Segala tindakan tidak hanya diukur dengan adat saja, tetapi adat juga didasarkan terhadap agama (Islam).

“ Adat basandi syara’, Syara’ basandi kitabullah”.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa falsafah adat ini lahir sebagai bentuk perkawinan antara hukum adat Minangkabau dengan Hukum Islam. Refolusi sosial ketika perang Paderi merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya falsafah ini. Arif, sifat arif menuntun masyarakat adat Minangkabau untuk tetap waspada terhadap setiap dinamika kehidupan. Kearifan ini merupakan modal dasar bagi mereka untuk merespon setiap gerakan dan tindakan yang mengancam eksistensi mereka. Dalam pepatah adat disebutkan sebagai berikut;
“ Tau jo ereang, jo gendeang, tau dirantiang nan kamancucuak, tau dianggeh ka malantiang, tau di dahan kamaimpok”


Keibijaksanaan diperlukan untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Dengan kebijaksanaan tidak ada persoalan yang tidak selesai. Untuk menyelesaiakan persoalanpun diharapkan untuk berprilaku sebaik mungkin, sehingga tidak merugikan kepada pihak-pihak lain. Dalam falsafah hidup Masyarakat adat Minangkabau disebutkan, sebagai berikut;
“ Indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah, kok mambunuah ula dalam baniah, ula mati, baniah jan leso, panggalan jan patah pulo”

Dalam kehidupannya, masyarakat adat Minangkabau juga sangat menjaga eksistensi dan keberadaan etnisnya. Proses penjagaan eksistensi ini dilakukan secara sadar karena merupakan tugas luhur yang selalu diamanahkan pada setiap putara Minangkabau. Jika terjadi sesuatu hal yang akan mengancam eksistensi mereka, maka serta merta perlawanan akan dilakukan. Oleh karena itu ada bebarapa hal yang krusial yang jika terjadi setiap anggota Masyarakat Adat Minangkabau wajib untuk melawannya. Hal-hal yang krusial itu diistilahkan dengan pantangan.
Pantangan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sandi Rumah Diasak Urang
Sendi merupakan dasar tempat berdiri. Sendi rumah asli masyarakat adat minangkabau adalah sebongkah batu, dimana diatasnya berdiri kokoh tonggak rumah adatnya. Apabila salah satu sendi tadi digeser, maka rumah tersebut akan goyah dan selanjutnya akan roboh. Sendi kehidupan bagi masyarakat adat Minangkabau adalah Adat dan Agama (Islam).

Sendi lain dari keberadaan dan eksistensi masyarakat adat Minangkabau adalah Tanah Ulayat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi, sosial dan religius bagi mereka. Keberadaan tanah ulayat merupakan sebuah ikon eksistensi bagi Masyarakat Adat Minangkabau. Keberadaan tanah ulayat dalam sebuah kelompok Masyarakat Adat Minangkabau, dapat menentukan keaslian mereka dalam komunitas tersebut.

Apabila sendi-sendi kehidupan tersebut kemudian digeser, maka bangunan yang disebut dengan Alam Minangkabau akan goyah dan selanjutnya akan roboh. Dalam pepatah adat disebutkan, sebagai berikut:
“ Rumah gadang sasandi padek, Sabingkah tanah karajaan, Rumah gadang rumah kauman”.

2. Supadan dialiah urang
Supadan secara harfiah bearti batas. Secara lebih luas supadan bisa diartikan sebagai ukuran. Sebuah tindakan tentu ada sebuah ukuran sehingga keharmonisan hidup akan selalu terjaga. Ukuran-ukuran tersebut ditetapkan secara bersama-sama, dilaksanakan dan dijaga bersama-sama.

Disisi lain supadan juga diartikan secara fisik sebagaimana adanya. Supadan menunjukkan batas-batas penguasaan kelompok-kelompok dalam masyarakat adat Minangkabau atas wilayahnya. Segala sesuatu sudah ditentukan batas-batasnya. Apabila batas-batas yang sudah disepakati ini dengan mudah dirobah untuk kepentingan yang tidak jelas, maka akan menimbulkan gejolak ditengah-tengah masyarakat adat Minangkabau. Dalam pepatah adat mereka, supadan ini disebutkan sebagai berikut :
“ Nagari bari babateh, Suku bari balantak. Balantak babatu tanam, Salantak sabatu tanam “.

3. Kapalo banda diruntuah urang
Kepala bandar/selokan adalah sebuah hal yang fital bagi kelangsungan pertanian. Sumber air ini yang akan mengairi sawah-sawah dan peladangan. Hasil-hasil pertanian ini akan meningkatkan perekonomian masyarakat adat Minangkabau.

Kapalo Banda adalah pengibaratan atas sumber-sumber pendapatan masyarakat adat Minangkabau. Pilihan kata Kapalo Banda dipakai untuk pengibaratan sumber ekonomi adalah karena masyarakat adat Minangkabau aslinya adalah masyarakat agraris. Pengairan adalah sangat fital bagi masyarakat agraris. Lebih jauh, air adalah kebutuhan dasar bagi manusia. Karena sangat pentingnya, maka ekonomi diibaratkan sebagai air. Dalam pepatah adat diungkapkan sebagai berikut;
“ Mancari aia ka pamatang, Mancari padi kabanda “

Apabila ketiga pantangan ini sudah terjadi, maka keadaan tersebut adalah sebuah keadaan yang sangat merugikan. Keadaan ini adalah keadaan yang sangat ditakuti oleh masyarakat adat Minangkabau. Dalam banyak cerita rakyat keadaan yang sangat parah ini selalu dikabarkan sebagai klimaks dari perbuatan-perbuatan yang merusak. Keadaan ini merupakan gambaran dari kemiskinan lahir dan batin bagi masyarakat adat Minangkabau. Dalam pepatah adat disebutkan sebagai berikut :
“ Sawah kariang, taruko anguih, alamat rusak alam nangko”

Ketika pantangan-pantangan hidup masyarakat adat Minangkabau tersebut dilanggar oleh siapapun, mereka diajarkan untuk melakukan perlawanan. Baik itu perlawanan secara intilektual, jika perlu perlawanan secara fisik. Dalam pepatah adat disebutkan, sebagai berikut :
“ Disintak karih dipinggang, pantang ka makan angin, Aso hilang duo tabilang “

Perlawanan dilakukan dengan keris sebagai senjata asli masyarakat adat Minangkabau. Keris melambangkan alat/senjata yang selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai alat keris dapat melambangkan intilektualitas dan alat yang berupa kebendaan. Sehingga bentuk perlawanan dapat berkonotasi fisik dan non fisik. Sebagai pecinta kedamaian, masyarakat adat Minangkabau selalu mendahulukan intilektualitas dalam memecahkan sebuah masalah. Konflik-konflik selalu dihadapi dengan akal sehat. Di Masyarakat Adat Minangkabau, keris berfungsi sebagai;
“ Pamupuih miang di badan, Pamutuih aka nan basaua”

Falsafah hidup diatas adalah sebagian dari faktor yang membentuk kakrakter masyarakat adat Minangkabau. Dengan karakter yang egaliterian itulah mereka coba berinteraksi dengan dinamika kehidupan. Dengan berguru kepada alam, masyarakat adat Minangkabau selalu mampu menyesuaikan diri dan mempunyai resistensi untuk menjaga eksdistensi mereka disegala kondisi. Masyarakat Adat Minangkabau adalah masyarakat yang terbuka dan responsif terhadap setiap perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan filosofi sebagai berikut;
“ Sakali aia gadang, sakali tapian barubah”

c. Struktur Masyarakat Adat Minangkabau & Tata Pemerintahan Adat Minangkabau

Dalam membicarakan struktur masyarakat adat Minangkabau, kita tidak akan membicarakan sebuah strata/kasta-kasta sebagaimana layaknya masyarakat adat lain seperti Bali. Struktur masyarakat yang akan kita bahas dalam sesi ini adalah pengelompokan-pengelompokan masyarakat yang akan membangunan komunitas Sumatera Barat
Sebelum membicarakan struktur masyarakat adat Minangkabau, perlu dibicarakan komunitas individu-individu yang akan membangun struktur tersebut. Dalam terminology adat, dikenal penamaan/istilah Kamanakan. Secara harfiah, kamanakan adalah anak dari saudara perempuan, bukan anak saudara laki-laki. Hal ini disebabkan karena rakyat Minangkabau menganut sistem Matrilineal. Anak-anak yang lahir mengikuti cland ibunya. Jadi hubungan kekeluargaan didasarkan pada garis ibu. Saudara laki-laki dari ibu disebut dengan mamak.
Dalam perspektif yang lebih luas, istilah kamanakan ditambah dengan terminology anak, menjadi anak kamanakan. Sedangkan istilah mamak dtambah dengan terminology ninik, menjadi ninik mamak. Tereminology anak kamanakan dan ninik mamak ini menunjukkan perluasan makna, karna mencakup orang-orang yang berada diluar hubungan genealogis matrilineal diatas. Artinya fungsi seorang ninik mamak tidak hanya melekat pada clannya, tetapi juga melekat pada komunitas lain diluar clannya. Demikian juga sebaliknya, anak kemenakan juga harus menghormati ninik mamak diluar clannya. Ikatan ini adalah ikatan moral yang menjadi kearifan dalam menjaga keharmonisan hubungan sosial dalam komunitas adat Minangkabau.
Dalam struktur adat, kamanakan dibagi atas beberapa jenis yaitu 1) Kamanakan dibawah daguak (Kamanakan dibawah dagu) yaitu kamanakan yang mempunyai hubungan darah dengan mamak. Apakah langsung berasal dari anak saudara perempuannya atau secara tidak langsung, anak dari sepupu-sepupunya. Jarak hubungan darah ini, secara adat ditunjukkan dengan jarak nan Sajangka ( Sejengkal ), Nan Saeto (Sehasta) dan Sadapo (Sedepa), 2) Kamanakan Dibawah Dado (Kamanakan Dibawah Dada) yaitu adalah kamanakan satu suku/cland yang sama tetapi dengan pangulu kaum yang berbeda, 3) Kamanakan Dibawah Pusek (Kamanakan Dibawah Pusar) adalah kamanakan yang mempunyai hubungan suku/cland yang sama, tetapi berasal dari nagari yang berbeda dan 4) Kamanakan Dibawah Lutuik (Kamankan Dibawah Lutut) adalah orang lain yang sama sekali berbeda, baik suku maupun nagari, tetapi kamanakan tersebut meminta perlindungan pada cland mamak tertentu. Kamanakan Kamanakan dibawah lutuik (kamanakan dibawah lutut) in terbagi atas; a) Kamanakan Batali Budi adalah berasal dari kamanakan yang timbul atas sebuah hubungan baik atau lazim disebut dengan hutang budi, b) Kamanakan Batali Ameh adalah timbul karena sebuah peristiwa yang ada kaitannya dengan harta benda, misalnya seseorang yang datang kekeluarga tertentu yang dimulai dengan hubungan bisnis, c) Kamanakan Batali Adat adalah kemenakan yang timbul karena pengangkatan-pengangkatan secara adat
Selanjutnya marilah kita lihat pengelompokan masyarakat adat Minangkabau. Untuk mengantarkan kita kepada pengelompokan-pengelompokan masyarakat adat Minangkabau akan dipakai dua pendekatan yaitu pendekatan Genealogis dan pendekatan Teriorial.
Pendekatan Genealogis adalah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan struktur masyarakat adat Minangkabau menurut pertalian darah yaitu 1) Keluarga Inti adalah pengelompokan terkecil dari masyarakat adat Minangkabau. Keluarga inti terdiri dari Ibu dan anak-anaknya. Sedangkan ayah tidaklah termasuk kedalam pengelompokan ini. Karena Posisi ayah dalam pengelompokan ini adalah sebagai bapak biologis yang tidak termasuk kedalam cland Ibu, 2) Sajurai adalah kumpulan dari beberapa keluarga-keluarga inti dalam satu garis ibu yang sama, 3) Sa Paruik/ Se Perut adalah kumpulan dari beberapa komunitas Sa Ibu/ Sa Induak/keluarga inti. Keluarga-keluarga inti yang bergabung dan membentuk paruik haruslah berasal dari ibu yang sama, 4) Kaum adalah kumpulan dari beberapa Jurai yang berasal dari ibu yang sama, dan 5) Suku adalah kumpulan dari beberapa kaum yang berasal dari garis ibu yang sama.

Suku-suku/cland dalam masyarakat adat Minangkabau memiliki nama-nama tertentu. Nama-nama suku ini merupakan identitas bagi setiap segi pergaulan hidup indifidu dalam masyarakat adat Minangkabau. Tetapi tidak seperti masyarakat adat batak, suku di Minangkabau tidak dicantumkan dibelakang nama kecil. Suku nantinya kan berpengaruh terhadap penguasaan sumber-sumber agraria, pewarisan dan perkawinan.

Masyarakat adat Minangkabau melakukan perkawinan keluar suku atau eksogami. Tetapi diberbagai daerah terjadi penyimpangan dan penyempitan yaitu dibolehkan kawin sesuku asalkan tidak sekaum. Didaerah-daerah yang lebih keras dalam mereaktualisasikan adat perkawinan ini, perkawinan sesuku dilarang walaupun mereka tinggal dinagari yang berbeda. Demikian juga sebaliknya. Untuk lebih memahami lebih dalam tentang struktur masyarakat adat Minangkabau, marilah kita lihat bagan dibawah ini :


Sekarang marilah kita lihat struktur masyarakat adat Minangkabau berdasarkan pendekatan teritorial. Pendekatan teritorial adalah pendekatan berdasarkan kewilayahan tempat tinggal komunitas masyarakat adat tersebut adalah 1) Taratak adalah ikatan paling rendah atau areal tempat tinggal terkecil pada komunitas masyarakat adat Minangkabau. Pada taratak tinggallah keluarga-keluarga yang belum menggabungkan dirinya membentuk paruik tertentu, 2) Kampuang adalah bentuk ikatan tempat dian yang lebih lebar dari taratak. Biasanya ditinggali oleh jurai-jurai yang telah berkumpul menjadi sebuah paruik, 3) Koto adalah gabungan dari beberapa kampuang dalam satu suku tertentu dan 4) Nagari secara teritorial adalah gabungan dari koto-koto.

Prasyarat utama berdirinya sebuah nagari, nagari tersebut harus didirikan oleh empat buah suku. Kurang dari empat buah suku, nagari tidak bisa berdiri. Disamping itu, untuk mendirikan nagari harus juga harus memenuhi beberapa syarat tambahan yaitu 1) harus memiliki jalan raya nagari, 2) harus memiliki tempat MCK umum, 3) Harus memiliki balai tempat rapat adat, 4) Harus memiliki sarana ibadah/Mesjid dan 5) harus ada lapangan tempat keramaian ditengah-tengah masyarakat

Batas-batas teritorial sebuah nagari berupa batas-batas alam. Sebuah nagari dan nagari lainnya bisa dibatasi oleh sebuah sungai, bukit atau lembah. Sebagai contoh, batas teritorial nagari Kapar Kab. Pasaman adalah sebagai berikut:
1. Batas dengan Nagari Lingkuang Aur : Mulai dari Tarok Tongga, Padang Durian Hijau terus ke Bintungan Sarang alang di Talao Titisan Kiduak, terus ke Rantiang Tibarau sampai ke Lubuak Languang.
2. Batas dengan nagari koto Baru : Mulai dari tarok Tongga, terus ke Anak air Pabatuan, Sailiran Batang Sungai Talang sampai ke Tikalak Basi.
3. Batas dengan Nagari Sasak : Mulai dari Tikalak Basi, terus ke Tunggua Hitam Pamatang Sariak, sampai ke Labuang Sigoro-Goro/Pulau Kalimonyo.
4. Batas dengan Nagari Batang Pasaman : Mulai dari Lubuak Languang, Sapantakan Galah (sejauh lontaran galah) dari Batang Pasaman, seiliran Batang Pasaman terus ke Labuang Sigoro-Goro/Pulau Kalimonyo.

Dalam struktur pemerintahan adat Minangkabau diatas sudah dijelaskan pengelompokan-pengelompokan berdasarkan pendekatan geneologis dan teritorial. Sekarang marilah kita lihat tentang struktur pemerintahannya. Untuk memudahkan kita untuk membahas struktur pemerintahan adat Minangkabau, kita dapat dibantu dengan dua pendekatan yaitu; pendekatan internal suku dan eksternal suku.

1. Internal Suku

Berdasarkan pengelompokan masyarakat adat Minangkabau baik secara geneologis maupun secara teritorial, sistem pemerintah dalam suku adalah sebagai berikut a) Tungganai, Tungganai atau sering jua disebut dengan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam sebuah paruik. Tungganai ini bertugas untuk mengkoordinir anggota-anggota paruiknya dan memiliki kewenangan hukum keluar paruiknya. Tungganai tidak memangku gelar/sako adat tertentu, b) Tuo Kampuang, Tuo Kampuang adalah laki-laki yang menjadi pimpinan dalam kampuang. Tuo kampuang adalah koordinator dari tungganai-tungganai yang berada dalam wilayahnya. Dibeberapa daerah, Tuo Kampuang memangku gelar/sako adat, c) Mamak Kaum/Pangulu Kaum, Mamak Kaum atau Pangulu Kaum adalah seorang laki-laki yang mengepalai sebuah kaum tertentu. Mamak Kaum/Pangulu Kaum memangku gelar/sako adat tertentu. Jabatan ini juga disebut dengan Andiko Kaum yang artinya, pimpinan yang memiliki kewenangan langsung untuk mengurus anggota kaumnya dan d) Mamak Suku/Pangulu Suku, Mamak Suku/Pangulu Suku adalah seorang laki-laki yang mengepalai beberapa kaum dan merupakan koordinator Mamak Kaum/Pangulu Kaum. Pangulu Suku memangku gelar/sako adat tertentu dan memiliki kewenangan bertindak keluar sukunya. Pangulu Suku/Mamak Suku tidak mempunyai kewenangan langsung mengurus anggota sukunya. Karena kewenangan tersebut telah didelegasikan kepada Andiko Kaum/Mamak Kaum/Pangulu Kaum.

2. Eksternal Suku

Seperti yang kita gambarkan diatas, kesatuan geneologis dan teritorial diatas tingkatan suku adalah nagari. Pemerintahan adat pada tingkat Nagari inilah yang akan kita bahas pada topik ini. Secara politis, ada dua mazhaf besar yang menentukan bentuk pemerintahan adat pada tingkat nagari. Pilihan aliran politis ini berakibat pada pembedaan pola pemerintahan adat, jenis bangunan adat, mekanisme penyelesaian sengketa dan seremoni-seremoni adat lainnya. Aliran ini disebut dengan Kalarasan yang terbagi atas kalarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago.

 Kalarasan Koto Piliang

Secara gramatikal, berkembang pemahaman ditengah-tengah rakyat Minangkabau bahwa asal kata Koto Piliang dari kata Kato Pilihan atau Kata pilihan. Banyak ahli menyatakan bahwa nagari-nagari dalam stelsel adat koto piliang ini memakai pendekatan aristokrasi dalam penyusunan pemerintahan adat. Tetapi sesungguhnya, stelsel koto piliang tidaklah penganut aristokrasi murni. Karena dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetap memakai prinsip-prinsip dasar demokrasi rakyat.
Dinagari stelsel koto piliang, penyusunan pemerintahan adat memakai struktur berjenjang. Dalam pepatah adat sistem pengambilan keputusan mereka dinyatakan sebagai berikut;
“Batanggo Turun, manitiak dari langik
Pemahaman dari pepatah adat ini adalah; pada nagari-nagari stelsel koto piliang, nagari dipimpin oleh seorang Pucuk Adat yang mengepalai beberapa Pangulu Suku yang membawahi Pangulu Kaum. Dalam pengambilan keputusan, pangulu-pangulu suku ini mengadakan rapat adat untuk mensepakati sesuatu hal untuk selanjutnya dimintakan pengukuhan kepada Pucuk Adat atas kesepakatan tersebut. Namun dalam praktek, sering terjadi penyimpangan, yaitu Pucuk Adat terlalu mendominasi. Sehingga terkesan pola yang mereka pakai adalah pola aristokrasi murni.
Untuk pergantian pimpinan adat, nagari-nagari yang memakai stelsel koto piliang mengacu kepada pepatah adat yang menyebutkan;
“ Karambia Tumbuah Dimato,Patah tumbuah hilang Baganti
Pepatah adat ini menyiratkan bahwa penggantian jabatan-jabatan adat adalah berdasarkan garis darah yang tegas. Posisi-posisi pangulu kaum, pangulu suku, dan pucuk adat diwariskan kepada kemenakan langsung/anak saudara perempuan mamak. Kalaupun ada pergeseran, pergeseran ini tidak boleh jauh dari garis darah si mamak. Misalnya anak sepupu perempuan mamak. Untuk pucuk adat, pemangku-pemangku jabatan ini selalu berasal dari suku yang sama dengan gelar/sako adat yang sama pada setiap periode. Misalnya pucuk adat sebuah nagari stelsel koto piliang adalah DT. Bandaro Putiah yang berasal dari Suku Piliang Sani. Maka dalam pewarisannya, pucuk adat selalu dijabat oleh gelar/sako adat DT. Bandaro Putiah dari Suku Piliang Sani dan tidak akan pernah berpindah kepada gelar/sako adat lain dari suku yang lain pula.
Dalam segi arsitektur rumah-rumah adat atau balai-balai adat nagari-nagari stelsel koto piliang memakai bentuk “Gajah Maharam”. Diujung-ujung rumah terdapat lantai yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat yang lebih tinggi, duduk pangulu yang statusnya lebih tinggi pula. Pucuk adat menempati tingkat yang lebih tinggi, diikuti oleh pangulu suku dan seterusnya.
 Kalarasan Bodi Chaniago

Kalarasan Bodi Chaniago berasal dari kata Budi….atau Budi….Kalarasan Bodi Chaniago ini sering diidentikkan dengan penganut demokrasi murni. Dalam penyusunan pemerintahan adat pada tingkat nagari mereka mengacu kepada pepatah adat:
“Bajanjang naik, Mambosek Dari Bumi”
Nagari dipimpin oleh presidium Pangulu-Pangulu Suku. Presidium pangulu suku ini kemudian memilih seseorang diantara mereka untuk menjadi koordinator. Keputusan diambil secara bersama-sama dengan prinsip musyawarah mufakat.
Dalam pembangunan rumah-rumah adat maupun balai adat, nagari-nagari stelsel bodi chaniago ini memakai arsitektur “Surambi Papek”. Rumah atau balai adat ini memakai lantai yang datar tanpa tingkatan. Posisi duduk rakyat atau pimpinan-pimpinan mereka adalah sama. Tidak ada yang posisi duduknya lebih tinggi dari yang lainnya.
Pembagian kedua sistem ini banyak dimuat dalam cerita-cerita lisan / tambo yang berkembang ditengah-tengah rakyat Minangkabau. Cristine Dobbin menulis tentang kedua kalarasan ini yakni;
“ Tradisi ini secara konsisten menyebutkan dua petugas hukum, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan datuk Ketamanggungan yang menurut legenda, bertengkar lalu menetapkan dua sistem hukum yang berbeda bagi Minangkabau dan setiap desa wajib mengikuti salah satu sistem. Rupanya banyak pejabat tinggi negara yang bertengkar sesudah wafatnya Adityawarman, bahkan ada perang saudara antara pengikut Patih dan Temanggung. Perpatih nan sebatang berpihak kepada patih dan ketemanggungan kepada temanggung. Pengikut temanggung sependapat dengan keluarga raja dengan hirarki dan pemerintahan desa dan dengan perdagangan emas dan perlunya pengaturan baik produksi maupun jalur-jalurnya kepantai. Pengikut patih lebih menyamakan diri mereka dengan minangkabau sebelum jawanisasi, dengan sistem materilinial dan dengan unsur-unsur india dalam penduduk yang dianggab menderita selama periode tahun 1347 s/d 1345. Akibatnya setelah pertengkaran diselesaikan terdapat dua kubu ditanah datar, masing-masing memberlakukan tradisi hukum yang berlainan, yang disebut laras: Lima Kaum merupakan titik pusat bagi semua desa sesuai dengan tradisi yang diletakkan para pengikut patih, yaitu tradisi yang dikenal sebagai bodi chaniago. Sedangka Sungai Tarab menjadi titik pusat tradisi saingannya, yang dikenal dengan Koto Piliang”.

Seperti yang telah kita ungkap diatas, nagari di Minangkabau dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu nagari yang berada pada daerah-daerah asli seperti luhak Agam, Luhak Lima puluh, dan luhak Tanah Datar dan nagari-nagari yang berada di daerah rantau seperti di sepanjang pesisir barat Sumatera dan sisi Timur Sumatera sampai ke Malaysia.

Ketika kerajaan Minangkabau berdiri dan berpusat di Pagaruyung di Luhak Tanah Datar, Raja Alam Minangkabau tidak punya kekuasaan memerintah secara langsung pada nagari-nagari di daerah asal. Kekauasaannya baru terasa di nagari-nagari rantau yang langsung dibawah kendalinya. Sehingga dalam pepatah adat disebutkan
Luhak ba Pangulu, Rantau ba Rajo

Nagari rantau tunduk penuh pada rentang kendali Daulat yang Dipertuan Raja Minangkabau di Pagaruyung. Nagari-nagari rantau menyelenggarakan urusan kerajaan dalam menaruik pajak dan menjaga wilayah kerajaan. Sebagai satu tanda kebesaran, raja memberikan stempel kerajaan. Urusan penarikan pajak tersebut berupa pajak-pajak pengelolaan sumberdaya alam dan pajak-pajak lain seperti pajak pelabuhan. Nagari asli (Luhak) tidak mempunyai kewajiban pajak atau upeti kepada Raja Alam Minangkabau Pepatah adat menentukan sebagai berikut:
Cukai Rajo Ka Rantau, Abuan Pangulu Bungo i.

d. Pengaturan Penguasaan Agraria dan Sumberdaya Alam di Minangkabau

Tanah ulayat di Minangkabau apakah berupa komplek perumahan, sawah, ladang, hutan, sungai maupun hasil tambang secara sederhana disebut dengan kata “Pusako”. Secara gramatikal pengertian pusako adalah pusaka, kata ini mengandung pemahaman bahwa benda yang disebut pusaka akan terus turun-temurun sampai ke anak cucu. Prinsip dasar pemilikan sumber-sumber agraria ini, sebagaimana di masyarakat adat lain, dimiliki secara komunal, secara bersama-sama. Tidak ada seorangpun anggota komunitas masyarakat adat Minangkabau yang dapat menunjukkan pemilikannya secara individu atas sebidang tanah ulayat. Tetapi untuk memudahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut, dibuatlah ketentuan-ketentuan pengelolaan yang terus dilestarikan.

Secara prinsip, pusako hanyalah berada dalam penguasaan Suku. Pada tingkat yang lebih tinggi, secara teritorial pada tingkat Nagari, pusako tidaklah ada karena sesungguhnya teritorial Nagari terbentuk dari penggabungan pusako-pusako suku yang membembentuk nagari tersebut. Tetapi tentu pemilikan suku-suku atas pusako di nagarinya tidak selalu berbentuk penguasaan devacto atau penguasaan secara fisik. Tanah-tanah kosong, sungai, pantai dan areal-areal pertambangan yang jauh dari pemukiaman dikuasai secara politis melalui perwakilan suku-suku mereka di pemerintahan nagari. Areal ini bersifat areal cadangan atau tabungan dan areal yang hasilnya diperuntukkan untuk penyelenggaraan pembangunan Nagari. Perwakilan-perwakilan suku inilah yang akan mengurus pengelolaan tanah-tanah dan areal-areal yang belum termanfaatkan tadi.

Pada tingkat suku, tanah-tanah terbagi atas peruntukan-peruntukan perumahan, persawahan, peladangan, padang gembalaan dan hutan-hutan kecil. Anak-anak sungai atau sumber-sumber air utama biasanya tidak dimiliki oleh salah satu suku, tetapi diserahkan kepada nagari karena menyangkut kepentingan banyak orang. Ditingkat suku ini juga terdapat klasifikasi pusako. Untuk tanah-tanah yang diterima secara turun-temurun dari nenek moyang dan diwarisi melalui garis ibu, disebut dengan “Pusako Tinggi”. Tanah-tanah yang diperoleh dari usaha-usaha yang dilakukan oleh sebuah keluarga inti disebut dengan “Pusako Rendah”. Pusako rendah biasanya diperoleh lewat lembaga gadai, tidak jual beli. Karena dalam hukum adat Minangkabau, tanah ulayat diharamkan untuk dijual. Dengan kata lain, untuk benda-benda tetap, hukum adat Minangkabau tidak mengenal adanya lembaga jual beli.

Sebagai suatu komunitas masyarakat adat matrilinial, maka penguasaan pemilikan Pusako Tinggi berada pada anggota komunitas yang perempuan. Hak pemilikan berada ditangan perempuan tertua pada setiap tingkatan pengelompokan mereka. Hasil-hasil usaha pertanian atau komersialiasai dari pusako tinggi disimpan dan dikeluarkan oleh perempuan tertua tersebut. Posisi yang ditempati oleh perempuan tertua tersebut, diberbagai daerah di Minangkabau disebut dengan “Mamak Indu”.

Sedangkan hak pengaturan pengelolaan pusako tinggi terdapat ditangan laki-laki yang diberikan kepercayaan dalam komunitas mereka. Orang yang mempunyai hak pengaturan pengelolaan pusako Tinggi ini disebut dengan “Mamak Kepala Waris”. Mamak Kepala Waris , kadang kala juga memangku Gelar/Sako Adat. Tetapi ada juga yang tidak memiliki gelar apa-apa. Mamak kepala waris adalah lelaki tertua yang diberi kewenangan oleh komunitasnya untuk mengatur pengelolaan pusako tinggi.

Secara hirarkis, jabatan mamak kepala waris (MKW) berada pada tingkatan kaum. Karena pengolahan pusako tinggi dilakukan pada tingkat kaum ini. Pusako Tinggi suku dibagi secara rata sebanyak jumlah kaum yang membentuk suku tersebut. Kaum-kaum yang telah mendapatkan bagian jelas dari Pusako Tinggi suku tadi mempunyai hak dan kemerdekaan untuk mengelola dan menikmati hasil dari bagiannya. Pemberian bagian bagi kaum ini dalam konsep adat Minangkabau disebut dengan;
“Ganggam Bauntuak, Hiduik Bapangadok”

Pemahaman dari konsep ini adalah, pusako tinggi milik suku tersebut telah dilakukan pembagian secara adil dan telah diberikan otonomi bagi kaum untuk mengelola dan menikmati hasil bagiannya. Selanjutnya pembagian hak pengelolaan dilanjutkan pada tingkat yang lebih rendah yaitu; Paruik, Jurai dan sampai kekeluarga inti.

Perpindahan hak atas benda tetap hanya dapat dilakukan dengan mekanisme gadai setelah melewati prasyarat-prasyarat yang sangat berat. Prasyarat pertama adalah kalau ada alasan-alasan pembenar sebagai berikut;
1. Gadih Gadang Indak Balaki (Perawan Tua yang Tak Bersuami).
Ketika ada suatu anggota kaum yang kesulitan mendapatkan jodoh, maka kewajiban mamak/pamannya untuk mencarikan suami. Jika tidak ada biaya untuk mencarikan suami tersebut, maka pusako tinggi baru dapat digadaikan.
2. Mayik Tabujua Di Ateh Rumah (Mayat Terbujur Diatas Rumah)
Jika ada salah seorang anggota komuniatas mereka yang meninggal dunia, sedangkan biaya untuk menyelenggarakan mayat tersebut tidak ada, maka pusako tinggi dapat digadaikan.
3. Rumah Gadang Katirisan (Rumah Besar Bocor)
Keberadaan rumah bersama, rumah adat, rumah komunal bagi masyarakat adat Minangkabau sangat penting sekali. Karena rumah adat adalah sebuah identitas sosial yang menjadi ciri bahwa mereka itu adalah penduduk asli suatu Nagari. Oleh karena itu jika tidak ada biaya untuk renovasi dan perbaikan rumah adat, maka Pusako Tinggi dapat digadaikan.
4. Mambangkik Batang Tarandam (Membongkar Kayu Yang Terendam)
Mambangkik batang tarandam bagi masyarakat adat minangkabau dimaksudkan untuk membangun kejayaan suku mereka. Biasanya dalam praktek, pengangkatan pemimpin mereka/pangulu merupakan suatu hal yang termasuk kedalam mambangkik batang tarandam. Karena perkembangan zaman, menyekolahkan anggota suku sampai pada tingkat yang lebih tinggi juga disebut sebagai suatu usaha mambangkik batang tarandam. Jika biaya-biaya yang diperlukan untuk mambangkik batang tarandam ini tidak ada, maka pusako tinggi boleh digadaikan.

Dalam menggadaikan pusako tinggi tadi, dianjurkan untuk menggadaikan kepada kelompok lain yang masih merupakan satu suku. Kalau tidak ada, maka gadai dapat dilakukan keluar suku dalam nagari yang sama. Jika tidak juga ada maka dilakukan penggadaian kepada orang diluar nagarinya tetapi masih dalam satu suku. Hal ini dimungkinkan karena di nagari-nagari di Minangkabau banyak terdapat persamaan-persamaan nama suku. Persamaan suku ini disebabkan oleh arus penyebaran penduduk dalam wilayah Minangkabau. Sedemikian ketatnya proses penggadaian pusako tinggi, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian dan keutuhan tanah ulayat.

Pada tingkat terendah lembaga gadai hanya bisa dilakukan antar kaum dalam satu suku. Antar anggota dalam satu kaum tidak dapat saling melakukan perbuatan hukum. Perpindahan hak pengelolaan tidak dapat dilakukan antar paruik, antar jurai ataupun antar keluarga. Karena mereka-mereka yang satu kaum, memiliki hubungan geneologis yang sangat dekat sekali. Sehingga setiap perbuatan hukum pengalihan hak pengelolaan yang terjadi dikelompok-kelompok masyarakat adat yang berada dalam satu kaum, akan batal dengan sendirinya. Sebuah paruik wajib membantu kesulitan finansial paruik lainnya, begitu terus sampai ketingkat keluarga inti. Untuk terobosannya, jika sebuah keluarga kesulitan keuangan, maka bisa saja keluarga tersebut memberikan ijin pengelolaan atas pusako tinggi bagiannya kepada keluarga dalam satu kaumnya, tetapi itu bukanlah sebuah gadai. Sehingga akibat hukum dari lembaga gadai tidak dapat mengenai para pihak tadi.

Sebelum penggadaian pusako tinggi dilakukan, maka dilakukan musyawarah untuk membicarakan gadai tersebut. Jika masih ada anggota kaum yang dapat mengatasi kesulitan pihak yang berencana menggadai, maka gadai pusako tinggi gagal. Jika tidak ada satupun lagi yang bisa membantu maka gadai dapat dilakukan. Untuk mencari pihak yang menerima gadai, penggadai melakukan secara diam-diam, karena pada intinya, secara moral perbuatan hukum gadai adalah salah satu perbuatan yang sangat memalukan. Tindakan ini menunjukkan ketidak mampuan dalam menjaga pusako tinggi yang dipercayakan kepadanya.

Setelah budaya tulisan berkembang di Minangkabau. Surat-surat gadai mulai bermunculan. Surat gadai merupakan pernyataan gadai dari pihak penggadai dan ditandatangani oleh penggadai, dengan diketahui oleh mamak kepala waris dan saksi-saksi batas sepadan pusako tinggi yang digadaikan tersebut. Uniknya, setiap perbuatan hukum gadai atas tanah adat yang dituliskan, pihak penerima gadai tidak menandatangani surat tersebut. Disurat hanya terdapat tanda tangan si penggadai, mamak kepala warisnya dan saksi-saksi batas sepadan. Hal ini disebabkan karena menurut hukum adat Minangkabau, syahnya perbutan hukum pengalihan hak atas benda tetap, syah dan memiliki kekuatan hukum, apabila diketahui oleh mamak kepala waris dan saksi batas sepadan. Saksi batas sepadan adalah posisi kunci dan sangat fital atas syahnya perbuatan tersebut. Jika saksi batas sepadan tidak mengetahui pengalihan hak tersebut maka perbuatan hukum atas tanah pusako tinggi tersebut batal.

Dalam arsip-arsip tua surat peminjaman tanah-tanah kepada pihak Belanda, bukti yang dimiliki oleh rakyat hanyalah surat pernyataan peminjaman sepihak yang ditandatangani oleh mamak kepala waris dan saksi sepadan. Secara hukum adat perbuatan hukum itu syah, karena menurut pasal 161 & 163 IS, tanah-tanah adat tunduk kepada hukum adat. Tetapi pemerintah Indonesia cendrung mengenyampingkan bukti pernyataan peminjaman tanah oleh rakyat kepada pengusaha Belanda di masa lalu itu dengan dasar bahwa tidak pernah ada perbuatan hukum peminjaman sama sekali dengan bukti tidak adanya tanda-tangan peminjam tertera. Selanjutnya pemerintah mengklaim areal tersebut sebagai tanah negara.
Pada tingkat tertinggi dan konsep paling mendasar, pengaturan agraria dan sumberdaya alam (ulayat) di Minangkabau berada pada tangan pengulu sebagai representasi anak kemenakan, seperti ketentuan adat sebagai berikut :

Sakalian nego utan tanah, Baik pun jirak nan sabatang, Sampai ka rumpuik nan sahalai, Maupun batu nan saincek, Kabawah takasiak bulan, Kaateh mambubuang jantan Pangkek pangulu punyo ulayat Kok ayianyo buliah diminum, Kok buahnyo buliah dimakan

Dalam kerangka hukum adat Minangkabau , ulayat adalah wilayah pengelolaan yang berada dalam penguasaan bersama (communal right). Dalam praktek, penguasaan ini di implementasikan oleh wakil-wakil mereka, misalnya ketua-ketua adat. Menurut pepatah ini, ulayat tersebut terdapat didalamnya bahan seluruh kekayaan alam, mulai dari permukaan tanah, dasar bumi sampai keudara yang terdiri dari benda-benda hidup dan benda-benda mati. Penguasaan ulayat di jalankan oleh Pangulu sebagai representasi pemilikan komunal suku-suku pemegang hak ulayat. Hak Pangulu untuk menguasai tidaklah berarti sebagai Pemilik.

Jika di hubungkan dengan pembahasan daerah asli dan daerah rantau diatas, terdapat perbedaan pengelolaan penghasilan yag bersumber dari ulayat.


e. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Minangkabau

Setelah melakukan pembahasan tentang struktur masyarakat dan pengaturan penguasaan agraria di Minangkabau, hal yang paling penting diungkap adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang mereka anut. Filosofi dasar dalam yang mendasari seluruh seremonial penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. Azas-azas hukum dan ketentuan dasar yang menjadi acuan bagi penyelesaian sengketa, diterima secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Seperti yang diungkap dalam pepatah adat mereka yang berbunyi :
“ Kamanakan barajo kamamak, Mamak barajo ka pangulu, Pangulu barajo kamufakat, Mufakat barajo ka kabanaran, Kabanaran tagak sandirinyo”

Pemahaman barajo (ber-raja) tidaklah mengandung pemahaman sentralistik dan hirarkis atau feodal. Kata-kata beraja maksudnya mengambil contoh atau ukuran. Tingkatan terbawah mengambil contoh/ukuran kepada tingkatan yang lebih tinggi. Ponakan mengambil contoh kepada paman (mamak), begitu seterusnya sampai kepada tingkatan yang paling tinggi, kesepakatan itu mengacu kepada kebenaran. Kebenaranlah yang paling hakiki.
Untuk mengejar ketertinggalan ketentuan hukum dari perkembangan dinamika kemasyarakatan mereka, masyarakat adat minangkabau memiliki sebuah filosofi dasar yaitu “Alam takambang menjadi guru”. Dinamika kemasyarakatan disesuaikan dengan pergerakan alamiah. Masyarakat adat Minangkabau menyadari secara kritis bahwa mereka adalah bagian dari kosmis yang terdiri dari mereka dan alam disekitarnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dialam, merupakan refleksi bagi menyempurnaan struktur kemsyarakatan mereka.
Kesadaran untuk selalu menyesuaikan diri dengan perubahan alam dimuat dalam filosofi yang menyebutkan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah”. Masyarakat adat Minangkabau menyadari bahwa setiap kali air besar disungai maka pada saat itu terjadi juga perubahan pinggir sungai tempat mereka mandi. Filosofi ini tidaklah menggambarkan betapa prakmatisnya mereka, tidak, tetapi filosofi ini merupakan kesadaran kritis mereka untuk selalu menyesuaikan diri dengan dinamika alamiah. Kesan prakmatis ini dapat dianulir karena prinsip-prinsip dasar seperti kebenaran hakiki telah menjadi sebuah ukuran baku yang dianut dalam pepatah mereka “adat yang tak lekang karena panas dan tak kan lapuk karena hujan”.
Jika terjadi sebuah persengketaan ditengah-tengah masyarakat adata Minangkabau, maka sengketa itu akan diadili secara musyawarah mufakat. Tidak ada satu kekuatan yang dapat menghegemoni musyawarah mufakat tersebut. Namun demikian ada posisi-posisi tertentu yang diberikan kewenangan untuk mengawal proses penyelesaian sengketa dan memiliki kekuasaan pengukuhan penyelesaian sengketa dimaksud. Tidak ada hak veto dari orang-orang tersebut kecuali ditangan Raja Alam Minangkabau yang akan kita bahas lebih lanjut.
Jika sebuah keluarga inti bersengketa dengan keluarga inti lainnya misalnya mengenai penguasaan sebidang tanah. Maka yang akan menyelesaikannya adalah Mamak Jurai. Jika sengketa itu tidak selesai pada tingkat Mamak Jurai, maka mamak jurai akan membawa penyelesaian kasus tersebut pada tingkat musyawarah paruik, dimana musyawarah tersebut di pimpin oleh Mamak Paruik/Tungganai. Jika tidak juga menemui penyelesaian maka dilanjutkan tingkat yang lebih tinggi yaitu pada tingkat kampung (dipimpin oleh Tuo Kampung) dan selanjutnya pada tingkat kaum (dipimpin pangulu kaum) dan suku (dipimpin oleh pangulu suku). Mekanisme penyelesaian sengketa ini, dilakukan dalam masalah-masalah yang melibatkan orang-orang yang menjadi anggota suku yang sama.
Jika masalah-masalah terjadi meliputi lintas suku, maka akan penyelesaiannya dicari dalam muasyawarah yang dilakukan oleh pangulu yang anggotanya bersengketa. Penyelesaian dapat juga duilakukan dalam musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang atau pimpinan-pimpinan yang ditugaskan oleh pangulu suku.
Selanjutnya, mekanisme penyelesaian sengketa pada tingkat yang lebih tinggi atau pada tingkat nagari, dipengaruhi oleh stelsel hukum yang dianut oleh nagari yang bersangkutan. Apakah nagari tersebut penganut stelsel Koto Piliang atau Stelsel Bodi Chaniago. Namun pada prinsipnya musyawarah tetap dilakukan oleh wakil-wakil suku/Pangulu Suku yang ada dalam nagari tersebut.
Dalam nagari dengan stelsel Koto Piliang, musyawarah dilakukan oleh wakil-wakil suku/Pangulu Suku yang ada dalam nagari. Wakil-wakil suku tersebut akan memusyawarahkan masalah yang diajukan kepadanya dengan dipimpin oleh Pucuk Adat dinagari dinagari tersebut. Pucuk adat atau disebut juga pamuncak/puncak adalah pangulu yang secara turun temurun mengepalai seluruh pangulu dinagari tersebut. Tetapi pucuk tidaklah mempunyai kewenangan untuk memutuskan penyelesaian persoalan secara sepihak, karena fungsi dan kewenangannya adalah untuk mengukuhkan hasil musyawarah dari wakil-wakil suku tersebut.
Berbeda dengan nagari-nagari penganut stelsel Bodi Chaniago, segala sesuatu hal yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dalam nagarinya, diselesaikan dalam musyawarah wakil-wakil suku. Keputusan tersebut dikeluarkan dan dikukuhkan dalam rapat tersebut. Tidak ada pucuk yang akan melakukan pengukuhan, karena nagari Bodi Chaniago tidak mengenal Pucuk Adat. Semua pangulu dalam nagari ini mempunyai posisi yang sama.
Mekanisme penyelesaian sengketa pada tingkat yang lebih tinggi, apakah itu masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan pada suatu nagari atau antara nagari-nagari tertentu, dipengaruhi juga oleh stelsel yang dianut oleh nagari tersebut. Disamping itu ada organ-organ pemerintahan tertentu yang diberikan kewenangan untuk itu.
Untuk masalah-masalah yang timbul dalam nagari atau antar nagari yang menganut stelsel Koto Piliang, secara bertingkat adalah; masalah diajukan kepada Pamuncak Koto Piliang (DT. Bandaharo Nan Putiah) yang berkedudukan di Nagari Sungai Tarab di Tanah Datar, selanjutnya naik kepada Raja Adat di Buo Lintau dan pada tingkat akhir sengketa akan dipuitus oleh Raja Alam Minangkabau. Raja Alasm adalah jenjang tertinggi bagi penyelesaian sengketa. Raja Alam berhak untuk memveto masalah sehingga masalah dapat diselesaikan. Biasanya sengketa yang sampai ketangan Raja Alam Minagkabau adalah sengketa-sengketa mengenai batas-batas wilayah antar nagari.
Pada sengketa-sengketa kewilayahan ini, biasanya akan didahului oleh perang-perang adat yang dilakukan oleh Dubalang-Dubalang (petugas keamanan nagari) di wilayah yang menjadi batas antar nagari yang bersengketa. Selain saling lempar-lemparan batu, perang ini juga akan memakai bedil. Walaupun diantara nagari ini terjadi perang, tapi hubungan sosial antara nagari tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya hubungan perdagangan, hubungan saling menunjungi antara anggota masyarakat nagari-nagari yang bersengketa akan tetap berlangsung seperti dalam keadaan normal. Pada hari-hari atau saat-saat bulan-bulan tertentu, perang dihentikan. Misalnya pada saat bulan Puasa. Ketika perang menjadi berlarut-larut, maka Raja Alam akan datang kelokasi perang dan memancangkan payung kuning. Pemancangan payung kuning merupakan pernyataan politis dari raja untuk menghentikan perang. Pernyataan ini dihormati oleh semua pihak. Wilayah yang dipersengketajkan kemudian akan menjadi wilayah dibawah pengawasan Raja Alam dan sengketapun selesai. Tanah-tanah ini kemudian dihormati sebagai tanah Rajo atau wilayah netral yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Seperti yang ditulis oleh Christian Dobbin berikut;
“… Tanah Raja, yang biasanya dipakai untuk menyelesaikan persengketaan antar desa (Nagari) dengan perkelahian ritual,...”

Untuk masalah-masalah yang timbul dalam nagari atau antar nagari yang menganut stelsel Bodi Caniago, secara bertingkat adalah; masalah diajukan kepada Pamuncak Bodi Caniago (DT. Bandaharo Nan Kuniang) yang berkedudukan di Nagari Limo Kaum di Tanah Datar. Keunikannya adalah, dari pamuncak Bodi Caniago, sengketa tidak perlu lagi dibawa kepada Rajo Adat di Buo, tetapi dapat langsung kepada Rajo Alam Minnagkabau. Pada tingkat Rajo Alam, penyelesaian sengketa tidak lagi mengenal pembedaan stelsel adat yang dianut oleh nagari-nagari yang berbeda.
Jika terjadi sengketa adat antara nagari-nagari penganut stelsel Koto Piliang dengan nagari Penganut stelsel Bodi Chaniago, maka penyelesaiannya akan diajukan kepada nagari asal yaitu Pariangan-Padang Panjang. Musyawarah diadakan di Padang Panjang dengan pimpinan DT…………….Jika penyelesaian tidak ditemukan, maka sengketa akan naik pada tingkat Rajo Alam seperti diatas.
Pada tahun 1890, De Rooy, salah seorang ahli Belanda yang banyak menulis tentang adat dan kebiasaan rakyat Minangkabau, dalam bukunya De Positie der Volkshoofden in een Gedeelte der Padangse Bovenlanden (Kedudukan Para Pemimpin Rakyat di Sebagian Dari Padangche Bovenlanden) menulis tentang nagari.

“ Kerajaan Minangkabau tua, terdiri atas daerah-daerah yang berdiri sendiri, masing-masing dibawah pemerintahan yang terdiri atas penghulu-penghulu dan semua daerah ini tunduk pada kedaulatan raja. Daerah-daerah ini atau nagari-nagari, tidak ada hubungan satu sama lain dan sebetulnya bebas sama sekali. Juga bebas membuat hukum dan peraturan peraturan dan menjalankannya sekalian,tetapi lembaga-lembaga tua tetap berlaku untuk semua, juga untuk raja sebagai dasar pemerintah dan pembikin hukum. Kekuasaan, lebih baik dikatakan kekuasaan tradisional atas semua nagari itu yang jumlahnya selalu bertyambah, berpusat pada raja Minangkabau yang mereka anggab sebagai inkarnasi dari keturunan dan asal yang sama yakni dari Pariangan-Padang panjang, dan dari lembaga tua yang tumbuh dari padanya. Hanya disinilah berada kekuasaan raja Minangkabau, bukan dalam bentuk memerintah atau memamerkan kekuasaan disokong dari belakang oleh kekuatan nyata. Bahwa raja dalam menjalankan tugas tradisionalnya mempunyai hubungan langsung dengan nagari-nagari tanpa perantara; rakyatnya bukan perorangan pribadi tetapi collectieven (kumpulan, kelompok, golongan) yakni nagari yang diwakili oleh para penghulu. Karena para penghulu dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai tanggung jawab dan mengambil putusan-putusan bersama, maka mereka tidak pernah menyalah gunakan kekuasaan. Kerajaan bisa kelihatan keluar megah atau bobrok, tetapi organisasi nagari ini tetap utuh dilindungi adat. Nagari-nagari ini dipimpin oleh penghulu-penghulunya secara demokratis berdasarkan kata mufakat. Seakan-akan merupakan republik-republik kecil. Ini tidak berari keadaan damai tentram selalu. Perselisihan atau perang-perang kecil tentu ada antara nagari-nagari ini. Dan sering pula perselisihan-perselisihan ini harus diselesaikan oleh raja. Bukan dengan mengirim kekuatan atau angkatan perangnya, tetapi karena rakyat patuh kepada adat dan tradisi saja. Menurut cerita, cukup seorang wakil raja berada antara kedua pihak yang sedang berperang, untuk menghentikan segala kekerasan. Malahan memancangkan panji-panji kuning dari rajo pun sudah cukup. Sebab tanah diantara nagari-nagari yang sedang berselisih dianggap “tanah raja”, daerah netral “.

No comments: