Friday, November 17, 2006

RUU Illegal Logging; ”Akankah Seperti Mencari Penjahit, Tapi Kapak Hilang ?”

“Tetapi tentulah tulisan ini tak hendak mendukung pelaku Illegal Logging terus beroperasi. Tetapi justru ingin mengajak para pengambil kebijakan tidak terjebak pada situasi “untuk mencari penjahit, kapak yang hilang”. Artinya, karena salah pendekatan, menyebabkan kehilangan yang lebih besar, seperti timbulnya konflik sosial besar. Karena itulah selain apresiasi perlu diberikan kepada departemen kehutanan dalam pemberantasan illegal logging, hal lain yang perlu diperhatikan adalah penegakan hukum dan perubahan kebijakan kehutanan harus didahului oleh kepastian tenurial atas kawasan hutan terutama memastikan hak masyarakat, dan memastikan batas kawasan dan peruntukan kawasan hutan negara”.

Kampanye pemberantasan Illegal Logging berangkat dari keprihatinan akan kerusakan hutan. Tetapi dalam pendekatan ekonomi, Bank Dunia memperkirakan, pemerintah negara-negara penghasil kayu kehilangan pendapatan sebesar €10-15 milyar per tahun. Dalam konteks Indonesia, barangkali negeri ini telah berangkat pada kerusakan lingkungan paripurna. Krtodiharjo mencatat, berdasarkan data Departemen Kehutanan, Januari 2005, hutan Indonesia telah terdegradasi seluas 59, 7 juta hektar dan lahan kritis mencapai 42, 1 juta hektar.Berbanding lurus dengan situasi itu, menurut Kementrian Lingkungan Hidup 2003, Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Salah satu pengkontribusi atas situasi itu adalah kegiatan Illegal Logging.

Sebagai reaksi terhadap situasi diatas, Kabinet SBY, terutama Menteri Kehutanan tentulah sepantasnya mendapatkan apresiasi. Peletakan prioritas pemberantasan Illegal Logging sebagai satu prioritas kerja, telah mengakibatkan beberapa cukong kayu berurusan dengan polisi. Kasus terakhir, kasus Adelin Lis yang cukup menyita perhatian pulik, dapat menjadi Indikator itu.

Masalah Illegal Logging telah membuka katup kekhawatiran sebagian orang dan lembaga pemerintah. Selain di Indonesia, karena Illegal Logging ini telah lintas negara menyebabkan pembahasan Illegal Logging menjadi pembahasan lintas negara pula. Pada September 2001, di Bali-Indonesia berlangsung pertemuan tingkat menteri untuk membahas Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) yang melahirkan deklarasi Bali tentang kesepakatan kerjasama antar negara khususnya negara yang berasal dari asia timur untuk meningkatkan intensitas kerjasama bilateral, regional dan multi-lateral guna pemberantasan Illegal Logging. 18 April 2002 pemerintah Indonesia menandatangani MoU dengan Pemerintah Inggris tentang FLEG untuk pemberantasan Illegal logging dan Illegal timber trade, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi pada Agustus 2002. Salah satu yang terpenting dari MoU dan rencana aksi ini adalah pemenuhan standar legalitas (keabsahan) kayu yang diperdagangkan.

Perumusan standar dan kreteria keabsahan kayu di Indonesia tidaklah sesederhana yang diperkirakan. Pertanyaan mendasar yang mesti dituntaskan adalah dari titik mana keabsahan kayu itu dilihat. Apakah semata akan dilihat pada pandangan hukum negara saja. Poin ini menjadi penting karena pada objek (hutan) yang sama, secara bersamaan berlaku juga hukum-hukum rakyat (misalnya adat). Persoalan akan timbul ketika terjadi perbedaan klaim tentang keabsahan kayu dari kacamata hukum yang berbeda tersebut. Keabsahan kayu manakah yang akan diutamakan dalam situasi menurut hukum negara kayu itu legal sedangkan menurut hukum adat kayu itu Illegal atau sebaliknya menurut hukum adat kayu itu legal sedangkan menurut hukum negara kayu itu illagal.

Kreteria dan standar syah atau tidaknya kayu semakin sulit ditentukan mengingat kawasan hutan tempat kayu tersebut tumbuh, belum sepenuhnya melalui prosedur hukum untuk menjadikan kawasan tersebut menjadi kawasan hutan negara. Seperti yang dikutip oleh Kartodiharjo (2006) menurut Fay dan Sirait (2004) sampai tahun 2003 baru 12 Juta Ha kawasan hutan yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan negara dengan status hukum tetap atau baru 10 % dari keseluruhan kawasan hutan di Indonesia. Sebagaimana ditentukan UU Kehutanan, kawasan hutan tersebut mestinya melalui proses pengukuhan kawasan yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Sehingga ketika hutan tersebut telah berstatus hukum tetap sebagai hutan negara, barulah acuan standar keabsahan kayu dapat dengan mudah ditetapkan dengan merujuk pada hukum kehutanan negara.

Apabila standar legalitas semata mengacu kepada ketentuan hukum negara diatas kawasan hutan yang belum sepenuhnya menjadi hutan negara, maka ditenggarai akan melahirkan konflik sosial dilapangan, karena pemanfaatan hutan yang dilakukan rakyat akan menjadi illegal karena mereka mengelola dengan memakai hukum adatnya.

Ketika standar legalitas kayu masih pada tingkat perdebatan dan berbagai uji coba, dan belum ditetapkan dengan alas hukum yang kuat sehingga standar itu syah dipakai untuk mengukur keabsahan kayu yang keluar dari hutan dan masuk pasar, lahir proyek baru yang bernama Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Proyek yang disetujui pada bulan Mei 2003 ini merupakan respon Uni Eropa terhadap masalah global penebangan liar dan perdagangan kayu Illegal.

Berdasarkan dokumen FLEGT per 2 Oktober 2006, salah satu hasil utama yang diharapkan dari proyek ini adalah perbaikan UU Kehutanan & Penegakannya. Jika kita berpijak dari hasil ini, terdapat angin segar bagi perubahan kebijakan kehutanan yang semestinya memuluskan terbentuknya definisi dan standar keabsahan kayu yang akan menjadi basis bagi penegakan hukum yang kuat. Karena, beberapa klausul dalam UU Kehutanan semestinya dirubah misalnya mengenai penempatan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam kawasan masyarakat adat. Ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang beragam, diantaranya kalau hutan pengertian hutan adat demikian, jadi dimana sebenarnya hutan adat itu. Akan tetapi harapan besar tersebut mesti dipuaskan dengan dukungan proyek ini pada pembentukan RUU Pemberantasan Kejahatan Hasil Hutan ( RUU Illegal Logging).

Program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2006 menyandingkan pembentukan RUU yang populer dengan sebutan RUU Illegal Logging ini, dengan rencana perubahan UU Kehutanan. Seketika pertanyaan tentang mana yang mesti diadahulukan antara pembentukan RUU Illegal Logging dengan perubahan UU Kehutanan muncul ke permukaan. Faktanya ternyata pembentukan RUU Illegal Logging melaju dengan cepat meninggalkan RUU Perubahan UU Kehutanan.

Konsultasi Publik RUU Illegal Logging tanggal 12 Juli 2006 di Jakarta memunculkan alasan kenapa RUU ini diperlukan (naskah akademis). Inti alasan itu adalah ; a) degradasi hutan Indonesia mendapat kritikan sangat tajam dari pasar kayu Eropa. Pasar menginginkan pasokan yang legal atas perusahaan kayu mereka., b) tidak adanya koordinasi kelembagaan dalam penegakkan hukum kasus-kasus kehutanan, baik administrasi, pidana maupun perdata, c) penegakkan pidana kejahatan kehutanan selama ini mandul dan sulit menjerat pelaku baik perorangan maupun korporasi, sehingga kurang menimbulkan efek jera dan hutan pun tetap hancur, ditengari karena UU kehutanan tidak berjalan efektif, d) dukungan keuangan sangat minim sehingga diperlukan pembiayaan sistematis khususnya lewat APBN untuk mendukung upaya penegakkan hukum dan e) mendorong adanya mekanisme insentif yang mendukung upaya-upaya menegakkan hukum pemberantasan kejahatan hasil hutan.

Selintas dapat dipahami RUU Illegal Logging ini mencoba memecah kebuntuan penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku Illegal Logging yang selama ini beroperasi dengan leluasa, meskipun menimbulkan kerugian devisa negara dan lingkungan. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian, apakah yang menjadi masalah pokok adalah masalah kurang cukupnya peraturan perundangan atau masalah ketidak seriusan penegakan hukum dengan memakai peraturan perundangan yang ada. Pertanyaan ini penting dijawab untuk menentukan apakah yang akan dibentuk adalah peraturan perundangan yang baru atau cukup dengan memperkuat kapasitas dan fasilitas penegak hukum.

Jika disigi lebih mendalam, dasar argumen penyebutan ilegal logging disini adalah mengacu pada tindakkan penebangan, pengangkutan dan pengolahan yang tidak menggunakan ijin pejabat terkait. Ijin pejabat terkait merupakan suatu momok sejak lama bagi masyarakat yang hidup di kawasan hutan. Pengabaian RUU Illegal Logging terhadap kondisi sosial dan konflik tenurial kawasan hutan seperti yang kita ungkap diatas ditenggarai akan semakin mengentalkan konflik-konflik kehutanan yang mengahdapkan rakyat dengan aparat lapangan penegak hukum kehutanan. Jika berkaca dari pengalaman sebelumnya, terdapat kasus-kasus yang menunjukkankan operasi pemberantasan Illegal logging justru mengenai masyarakat yang hidup didalam dan sekitar kawasan hutan. Kerapkali mereka dikenai tuduhan demikian karena keberadaan mereka diantara diakui dan tidak diakui, dengan seperangkat pembatasan yang cendrung tidak mereka pahami.

Pada tingkat tertinggi, pembentukan RUU Illegal Logging ini akan menjadi satu cacat bagi upaya mendemokrasikan aturan hukum dengan memperkuat hak-hak asasi manusia. RUU yang kuat dengan aspek sanksi ini berlaku di atas sebagaian besar kawasan hutan yang masih abu-abu antara klaim pemerintah dengan klaim masyarakat. Akibat yang potensial muncul adalah pemerintah yang lebih berkuasa akan memaksakan berlakunya ketentuan ini di atas sejumlah besar kawasan hutan yang belum jelas status hukumnya. Disana, penghakiman atas pelaku yang disebut illegal logger hampir pasti lebih mudah ditujukan kepada pihak yang lemah, dalam hal ini komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Tetapi tentulah tulisan ini tak hendak mendukung pelaku Illegal Logging terus beroperasi. Tetapi justru ingin mengajak para pengambil kebijakan tidak terjebak pada situasi “untuk mencari penjahit, kapak yang hilang”. Artinya, karena salah pendekatan, menyebabkan kehilangan yang lebih besar, seperti timbulnya konflik sosial besar. Karena itulah selain apresiasi perlu diberikan kepada departemen kehutanan dalam pemberantasan illegal logging, hal lain yang perlu diperhatikan adalah penegakan hukum dan perubahan kebijakan kehutanan harus didahului oleh kepastian tenurial atas kawasan hutan terutama memastikan hak masyarakat, dan memastikan batas kawasan dan peruntukan kawasan hutan negara. Sehingga niat baik sampai pada tujuan sesungguhnya, tidak justru melahirkan masalah baru, baik dilevel legislasi maupun dalam implementasinya di lapangan.

No comments: