Tuesday, December 05, 2006

Antara Muncak Cigin Prokrol Bambu, Upiak Lusi Lapindo & Si Amek Daun

Antara Muncak Cigin Prokrol Bambu, Upiak Lusi Lapindo & Si Amek Daun

Tulisan pertama



Andiko



Pagi baru saja menapak di nagari Balimbiang. Matahari mendaki dari balik pepohonan di pinggir batang Sinamar yang legendaris. Yah…batang Sinamar yang legendaris telah menjadi satu pembeda stelsel hukum di Minangkabau yaitu stelsel hukum kalarasan nan panjang yang memilih tidak tunduk pada hirarkisnya koto piliang sebagai anak para raja dan demokratnya Bodi Caniago sebagai anak kandung kaum pemikir.



Jejak matahari baru saja menjilat dinding balai-balai adat tempat sidang adat selalu diadakan membahas masalah-masalah anak nagari. Tempat para pangulu bersilat lidah, memutuskan sengketa, sumbang dan salah. Tapi sejatinya, persidangan telah dimulai sejak dari lapau Mak Kari, didepan balai-balai itu. Lihatlah pagi itu, lapau hiruk pikuk dengan canda tawa, cimeeh, perdebatan yang di tingkahi dengan bunyi mencicit kopi dan teh panas diseruput.



Sejak pagi setelah sembahyang subuh, satu persatu anak nagari memasuki lapau (warung) mak (paman) Kari Sutan. Baik yang berbini ataupun yang merando (duda), mulai dari yang lurus, sampai ke yang tengkak (pincang), mulai dari yang pintar mengaji, sampai ke sarok (sampah) nagari ada disana. Begitulah ritual setiap pagi di nagari Balimbiang. Sebagian dari mereka yang duduk selonjor sambil melempar goreng pisang panas kemulut adalah anak-anak muda yang dari surau (langgar) Malin Putiah[i].



Nah pagi itu mengalirlah satu persatu mereka ke lapau Mak Kari Sutan. Disudut kelihatan Muncak Cigin si pokrol bambu menyeruput kopi tubruk. Kumisnya yang panjang menjela hingga secara tidak langsung berfungsi sebagai penyaring kopi yang masuk kemulutnya. Nampak beberapa lelaki lain mengelilingi meja itu, terlihat serius mendengar ota (cerita) Muncak Cigin dan sesekali berdebat. Ada apa gerangan. Semntara di dapur terdengar desisan pisang berlumur tepung yang lagi mandi-mandi di kuali. Uniang Gadih, istri Kari Sutan sedang menggoreng pisang raja.



“Caliak dek waang din” (lihat olehmu din), berkata Muncak Cigin setengah berteriak sambil melemparkan koran Kompas keatas meja. Sebagaian dari lelaki yang mengelilinginya kaget-kaget. Hampir saja koran itu menumpahkan teh milik Udin Lepay.



“Apa yang akan saya lihat mak Muncak”, menjawab Udin Lepay



“itulah waang (panggilan kasar ke laki-laki), tidak ada yang waang tau, makanya dengar koran dan baca radio….eh salah, baca koran dan dengar radio, jangan keladang dan menggembal kerbau saja, kalau model begitu, bisa dijual tagak (berdiri) waang oleh orang”……….



Sejenak para hadirin di lapau Mak Kari tergelak melihat si udin tersandar di didinding.



“ada apa mak Muncak” balas si mangguang yang dari tadi asyik makan goreng.



“itulah dek waang, kini di negeri ini ada yang namanya upiak lusi dan si amek daun” balas Muncak Cigin. “upiak lusi telah menusahkan dunsanak (saudara) kita di Sidoarjo dan si amek daun ini banting-bantingan di TV tapi membuat mati anak orang” lanjut Muncak Cigin. “Siapa kedua orang itu mak Muncak” bertanya si Kuran dari samping lapau.



Kini dengarlah saya bercerita. “Sengaja den (saya) kasi nama upiak di depan lusi, karena nama lusi dari sidoarjo ini mirip dengan nama anak gadis yang jolong gadang (abg). Mungkin kalian menyangka kalau si Lusi ini semok dan semlehoy padahal dia telah merendam berkampung-kampung di Sidoarjo. Silusi ini singkatan dari Lumpur Sidoarjo. Sejak si Lusi ini muncul, telah satu persatu kampung di Jawa terendam, orang-orang tidak bisa bekerja dan banyak kerugian yang diderita masyarakat”.



Ooooooooooohhhhhhhhhh itu…………….seperti koor para hadirin menimpali. Tiba-tiba ada yang menyelutuk; Saya kira tadi tu si Lusi anak Mak datuak yang kuliah di Padang, kalau itu, iya Semok dan semlehoy.



Hus !!!, siapa yang bicara itu….., kalau mak datuak tau atau saudaranya tau, kau bisa didenda adat dibalai adat di depan, timpal Mak Kari.



“Lalu apa pula si Amek Daun itu mak Muncak ?”, tanya Udin Lepay



“Tunggu sebentar, den minum dulu kopi ko” . Setelah menyeruput kopi pahit itu, Muncak Cigin menjelaskan. “Sedangkan Si Amek Daun ini adalah olah raga banting-bantingan yang ditampilkan di TV. Banyak anak-anak yang suka nonton dan rusaknya, mereka mencoba adegan tersebut disekolah dan meninggallah kawan-kawannya di Smackdown”.



Bbbbbbbbbeeee……nar itu mak mun……mu…..nnnn……cak, tanya labay yang gagap.



“itulah waang selalu ketinggalan berita, makanya bereskan dulu cara ngomongmu” ledek Muncak.



Pengunjung lapau Mak Kari Sutan langsung…………. Geeeeeeeeeeeeerrrrrrrrrrr……..sementara itu Labay kembali tergagap, karena emosi ingin melempar goreng ke pada Muncak Cigin, tapi segera ditahan oleh pengunjung yang lain.



“Makanya baca koran kompas yang aku bawa itu, semalam aku kasi pak Wali Nagari” tambahnya.



“kalau begitu, apa respons pemerintah Mak Muncak” tanya Udin Lepay.



“Kalau dalam kasus si Lusi, pemerintah telah membentuk tim penanggulangannya, tapi nggak juga selesai-selesai. Konon kabarnya yang punya perusahaan nan membor si lusi tu salah satunyo adolah ‘Mantari’ (logat Minangkabau untuk kata Menteri)………….”



Belum selesai Muncak menjelaskan, ada yang nyelutuk………..”kalau si Lusi di bor Mak Muncak, bisa punya cucu Mak Datuak, tapi kalau lusi yang di Jawa di Bor…kok…lumpur yang keluar”.



Huuuuuuuusssssss……..kurang ajar !, teriak Muncak sambil gelagapan mengeluarkan goreng dari mulutnya karena kepanasan.



Kari…….!!!!!!!, tambah air panas dikit, kopinya masih bersisa……..segera Kari Sutan menuangkan air panas dari termos kegelas kopi Muncak yang masih tersisa setengah.



Muncak kemudian melanjutkan, “aden (saya) dengar si Lapindo akan dijual. Banyak yang curiga itu strategi untuk lari dari tanggung jawab. Banyak yang tidak setuju, salah satunya WALHI Eknas. Dia rencananya mau menggugat Lapindo melalui Standing NGO” lanjut Muncak dengan sumringah karena sudah bisa memkai istilah internasional.



“lalu secara hukum siapa yang akan tanggung jawab terhadap si Lusi setelah lapindo dijual Muncak”………..menyela Kari Sutan.



Muncak Cigin menjadi sumringah, serasa menjadi Adnan Buyung ketika ditanya si Kari Sutan. Dengan pongah dipilinlah kumis yang agak pecah ujungnya. Selanjutnya Muncak memperbaiki kerah jas lusuh yang selalu menemani hari-hari sepinya, maklum Muncak telah menjadi orang merando (Duda) karena bininya minta cerai. Lebih sayang si muncak kepada si Kurok, anjing perburuan miliknya dibanding kepada Upik Talen istrinya. Tiap pagi si Kurok minum supradin campur telur, sedangkan ketika si Upik Talen minta dibelikan celana jengki yang sedang tren saat itu, muncak malah bersungut-sungut. Hasilnya, tidur bergelunglah Muncak di surau tua milik kaumnya.



“oiiiiiiii, kalian semuanya,…….tirulah si Kari Sutan, mau bertanya dan belajar, meskipun aden cuman sarjana hukum lulusan surau mak malin, tapi kan den rajin membaca radio dan mendengar koran………”,



Disudut si udin lepay sibuk menutup mulutnya dengan kopiah hitam lusuh, menyembunyikan ketawanya, disampingnya si Lebay gagap terguncang-guncang tubuhnya menahan tawa, tapi si Muncak Cigin tidak sadar dengan kesalahannya.



“baiklah kari, sebelum aden menjelaskan mengenai hukum lingkungan, tambah dulu air panas ke kopi aden ini, tambahkan pula kopi dan gula agak sesendok, kopi ini telah memutih” kata Muncak Sutan.



Dengan bersungut-sungut Kari Sutan kembali menuangkan air panas ke gelas kopi Muncak Cigin, sekaligus dengan sesendok kopi plus gula, yang tentunya tidak akan menambah harga kopi segelas yang akan di bayar Muncak nantinya.



“hmmm,…hmmm,…sebelum menjawab pertanyaan si Kari tentang siapa yang akan bertanggung jawab memberesi si lusi ketika lapindo dijual, aden ingin menjelaskan satu aspek dalam hukum lingkungan yang disebut dengan Strict Liability”, ………”tentulah kalian nan tidak bersekolah ini tidak mengerti” ucap Muncak dengan pongahnya.



“Menurut Pasal 35 UU Lingkungan kita, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi tersebut jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan yaitu a) adanya bencana alam atau peperangan, atau b) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c) adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Muncak kembali melanjutkan, sementara para hadirin di lapau Kari Sutan semakin terlongo-longo. Poin penting dari ketentuan tersebut adalah poin membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.



Tiba-tiba terdengar suara dari dapur, Uniang Gadih bini Kari Sutan yang sibuk menggoreng ikut menyelutuk “ Jadi Muncak !, apakah lapindo selama ini mengeluarkan uang untuk mengganti rugi rumah masyarakat yang direndan si Lusi itu termasuk pada strik sapu lidi tu”!!!!!!.



“Ondeh……..induak-induak satu pulo (ibu-ibu ikut pula)!!!!!!!!!!!”, sambar si Muncak, seketika berbunyi bunyi kaleh di pukul…………..Pranggggggggggg!!!!!!!!!!. Uniang Gadih telah berdiri di pintu dapur arah ke ruang tengah lapau tempat diskusi berlangsung dengan berkacak pinggang dan mengherdik Muncak.



“Oi Muncak…………..biar jelek-jelek begini, saya ketua Bundo Kanduang kampuang Gantiang Nagari Balimbiang, juara cerdas cermat P4 tingkek kelompok tani, plus lulusan dinaiah putri”,…………….ingek Muncak, kini jaman Genderrrrrrrrr!!!!!!!!!!!!!!.



“Oiiiiiiii uni, sorry ni……..sorry, jan lansung marah begitu……..saya Cuma bercanda, kasian dech loooooo”……….



Uniang Gadih makin terbakar emosinya, dan pergi kedapur sambil menghempaskan pintu

“Gubraaaaaaaaaaak!!!!!!!!!!!!!!!!!!, pengunjung lapau dan Mak kari terlonjak kaget, apalagi si Muncak Cigin.





Melihat si uni makin marah, satu persatu pengunjung lapau meninggalkan tempat, tinggallah si Udin Lepay, Muncak Cigin dan Kari Sutan. Kemudian muncak berkata “cerita ini nati malam kita sambung, saya mau memandikan si kurok dulu, aden utang dulu minum pagi ini” ucapnya sambil melangkah ke pintu lapau.



Dengan sigap kari Sutan Menimpali, “cerita, boleh cerita Muncak, tapi utang telah menumpuk, bisa gulung tikar lapau ambo (saya) ini”



Si Udin lepay pergi dengan tawa ngakak dan berujar “itulah Mak Kari, dilawan juga si Muncak Cigin, belum tau ya kalau si Muncak itu pokrol bambu…..ha….ha…..ha…..”.



Lapau mak Kari kemudian lengang dari perdebatan, matahari telah sampai pada para-para balai adat. Anak-anak sekolah mulai rame di jalan menuju pakan (pasar) Sabtu tempat sekolah berada. Si Udin Lepay dengan terseok-seok bersama yang lain menuju sawah untuk membersihkan cabe, semoga dapat harga mahal, agar aku beli satu ekor kerbau lagi do’anya sambil tersenyum. Sedangkan si Muncak Cigin terlihat sedang bersungut-sungut dan menendang si kurok anjingnya, karena tidak mau masuk kolam milik nagari untuk mandi.



Bersambung………





















--------------------------------------------------------------------------------

[i] Setiap hari ketika senja datang, setelah tepian tempat mandi di lubuak tingkarak lengang, yang muda-muda pergi kesurau. Aib besar ketika akil balig tidur di rumah Mandeh Kanduang (ibu). Sejak umur tujuh tahun, bahkan lebih muda para lelaki ini harus pindah kesurau, berteman tikar pandan lusuh tanpa bantal, karena bantal hanyalah milik pak malin garin (muazin & imam sholad) surau. Sesampai disurau, selepas sholad magrib, yang masih anak-anak mengaji juz amma. Menjelang sholad isha, anak laki-laki yang satu persatu pulang dari lapau untuk menunaikan sholat Isha sekaligus memperlancar kaji alqur’an besar. Setelah sholad isha itu, surau akan berdengung dengan lagu dan irama membaca alqur’an, ada yang irama padang pasir, ada yang irama surau Gurun dan sebagainya.



Serentak ketika pak malin selesai mengumandangkan komad, semua laki-laki dan perempuan tegak berdiri betul, mengangkat tangan, bersidekap dan mulailah sholad isha. Tapi jangan dikira suasana itu sepenuhnya hening. Ketika ruku’ ada saja yang iseng mendorong dari samping, hingga syaf sholat berantakan berjatuhan ke samping. Bunyi gedubrak itu diselingi oleh tawa tertahan dan seketika melayanglah rotan ke pantat masing-masing yang dipukulkan Malin Duano, adik pak Malin yang menjadi guru mengaji di surau itu. Beliau sengaja sholat setelah sholad berjamaah, untuk menjaga kejadian tadi dan kenakalan lainnya ketika sholad. Tidak ada yang bisa marah meskipun rotan itu membuat merah pantat, karena ketika penyerahan mengaji itu, ayah dan bundo sekaligus menyerahkan rotan sepanjang satu meter untuk pemukul jika anaknya nakal ketika belajar mengaji. Paling kalau kejengkelan telah memuncak, maka korbannya adalah tumpukan rotan itu, rotan itu akan berenang di batang Sinamar. Tapi meskipun kami buang rotan itu, Malin Duano lebih kreatif dan menggantinya dengan ranting bambu dan kalau dipukul pakai itu, rasanya lebih pedih. Selesai sholad isha itu, perempuan dan laki-laki kecil pulang kerumah.



Ketika jarum jam mulai mendaki pada angka tengah malam, Marah Banso, parewa yang juga mengaji di surau membuka sasaran. Satu persatu para pemuda mengitari halaman dengan jurus-jurus dan bunga-bunga silat. Mulai diatas tanah, sampai keatas mumbang (kelapa hampa), mulai dari atas tempurung, sampai ke atas pecahan kaca. Saling tinju dan pukul, salik elak dan sepak. Mulai dari silat tuo, kumango, silat duduk sampai ke silat buaya lalok (buaya tidur). Setelah nafas hampir putus, latihan silat selesai. Setelah membersihkan badan dan membaringkan badan, segeralah terdengar dengkur saling bersahutan. Oh tunggu dulu, para pemuda terpilih ternyata masih ada yang bangun, mereka mengaji ma’rifat dan hakikat pada buya (kiyai). Belajar tentang siapa diri, mengkaji sabalun alun barabalun (sebelum yang belum ada, apa yang ada), hidup akan mati, hingga azab kubur, selain itu tentu saja yang paling disuka para pemuda, “silat batin”, silat yang bisa menjatuhkan orang tanpa disentuh.



Sekali seminggu surau itu seperti pesta besar, para lelaki itu mencari ikan dan belut tengah malam. Berteman suluh daun kelapa dan parang panjang, hilir mudik keluar masuk taratak dan koto di nagari. Ketika tak ada hasil yang didapat, ada juga yang nakal mencuri ayam tek (tante) Munah yang kaya. Supaya jangan dimarahi keesokannya, maka yang disuruh mengambil adalah cucu tek Munah. Setelah itu mulailah ritual membuat rendang dan memasak nasi oleh para lelaki itu, yah lelaki semua. Mungkin karena itulah ketika masa perantau klasik, orang Minangkabau jika datang ke satu daerah selalu mendirikan warung makan Padang setelah terlebih dahulu singgah beberapa bulan di mengajar mengaji di Mesjid kota setempat. Begitulah ritualnya para lelaki Minang

Sunday, December 03, 2006

Ketika Badai Sawit Mempertemukan; Catatan Si “Parewa” Terhadap Buku Tanah Yang Dijanjikan (Promise Land)

Ketika Badai Sawit Mempertemukan
Catatan Si “Parewa” Terhadap Buku Tanah Yang Dijanjikan (Promise Land)

Andiko

Judul Buku : Promise Land-Tanah Yang Dijanjikan
Penulis : Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surombo dan Herbert Pane

Sahabat dan handai taulan

Bisakah anda bayangkan seorang “Parewa” Padang yang saban hari dibesarkan bergelimang debat dan “cimeeh” di lapau disudut nagari jauh di kaki gunung Marapi di Minangkabau, yang memperbincangkan mulai dari pemilihan presiden sampai ke anjing si Sutan yang pandai berlagak di rimba perburuan babi, diantara hempasan batu domino dan umpatan pemilik lapau, karena kopi setengah telah melewati tambahan air panas yang ketiga, bertemu dalam perjalanan panjang di tiga propinsi dengan seorang Doktor Inggris yang telah melahirkan puluhan buku, menjelajah dunia dan melahirkan kader-kader NGO sekelas direktur NGO Internasional, lengkap dengan timnya yang berasal dari LSM-NGO top di Batawi.

Mungkin anda akan geli sekali ketika mendengar perdebatan antara keduanya tentang statement si parewa (yang tidak pada tempatnya) yang menyatakan cinta itu hanyalah kegenitan pikiran manusia. Anda tau apa hasilnya ?, selain perjalanan yang hiruk pikuk, hasil lainnya adalah sumpah serapah penterjemah yang kehabisan air ludah menterjemahkan perdebatan tak berkesudahan itu sepanjang Liwa-Bandar Lampung. Yah bagaimana tidak demikian, jangankan berbahasa Inggirih…(eh sorry Inggris maksudnya), bahasa Indonesia aja si “Parewa” tidak lurus, setiap menyebut kata “Rakyat” selalu menimbulkan tertawa orang.

Tapi itulah nasib saudara, nasip…nasip. Si “Parewa” dari “kampuang nan jauah dimato”, diberi kesempatan belajar bersama FPP Inggris, Sawit Watch, ICRAF dan HuMa, untuk melihat “badai sawit”, membaca tumpukan kebijakan, menulis dan mendiskusikan laporan mulai dari sambil mandi-mandi di lubuk tempat berniat, di Lubuak Landua di kaki gunung Pasaman, ke internet sampai terakhir pada rapat mendadak di Konfrensi Internasional Land Tenure di Bali. Sekali lagi, itulah nasip “dunsanak”, nasip nan membawa “anak dagang” jauh ke tanah Betawi.

Harus diakui, di momen itulah si “Parewa” belajar banyak tentang kerendahan hati dan kearifan. Tingginya sekolah sampai sekelas Doktor, banyaknya pengalaman lapangan serta produk yang banyak, ternyata menjadikan orang ibarat padi “semakin berisi, semakin merunduk”. Beda dengan si Muncak tetangga kampung penulis yang berprofesi sebagai pokrol bambu, beliau merasa sangat ahli (seolah-olah Pakar), melihat orang bodoh semua. Sekali mendapat lawan, serasa mau pingsan pulang kerumah, intinya Muncak itu anti dikritik gila pujian, betul-betul produk penjajahan.

Buku yang berjudul Tanah Yang Dijanjikan, atau dalam cetakan fersi Inggirih (logat orang Minang untuk kata Ingris) berjudul Promise Land adalah hasil perjalanan panjang mulai dari Propinsi Lampung lanjut ke Kalimantan Barat dan berakhir di tepi ombak yang berdebur, di Minangkabau. si “Parewa” menuliskan ini bukanlah ibarat “si buntung mendapat cincin atau ibarat si kera mendapat cermin” yang mendapat mainan baru kemudian lupa diri saking gembiranya. Sebagai orang yang cuma “Sato Sakaki”, dalam penelitian ini, niatan si “Parewa” hanyalah untuk mempermudah kepada para sahabat dan handai taulan untuk membacanya. Baiklah, penulis copykan sedikit eksekutif summarynya.

Buku ini adalah merupakan hasil penelitian antara bulan Juli 2006 dan September 2006, Sawit Watch sebuah Lembaga non pemerintah Indonesia yang memantau sektor kelapa sawit Indonesia, organisasi internasional hak asasi manusia, Forest Peoples Programme, berkerjasama dengan pengacara-pengacara dari organisasi hak asasi manusia Indonesia, HuMA dan para ahli penguasaan tanah dari World Agroforestry Centre (ICRAF), melakukan penelitian multi-displin dan intensif tentang proses hukum dan kelembagaan pengadaan tanah untuk penanaman kelapa sawit di Indonesia dengan fokus pada hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Kerja ini dilaksanakan melalui koordinasi dengan NGO lokal dan organisasi masyarakat, kajian kajian lapangan dan wawancara secara mendalam, serta penelitian dan dokumentasi latar belakang hukum.

Penelitian ini juga dikembangkan oleh adanya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah inisiatif yang didorong oleh kalangan industri melibatkan organisasi konservasi dan kelompok keadilan sosial, bertujuan untuk mereformasi cara perkebunan kelapa sawit dikembangkan berdasarkan norma dan standar internasional. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendokumentasikan situasi, berbagai pandangan dan rekomendasi komunitas lokal dan petani kecil, yang terlibat atau mendapat imbas dari kegiatan produksi minyak sawit, 2) Mengukur berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perluasan penanaman kelapa sawit, 3) di indonesia terhadap komunitas lokal dan masyarakat adat, 4) Mendokumentasikan perlindungan hukum atas lembaga adat dan hak adat, 5) Memahami secara mendalam langkah-langkah hukum yang ditempuh oleh perusahaan, 6) dalam pembebasan tanah guna penanaman kelapa sawit di indonesia, 7) Mengukur sejauhmana hukum (peraturan) dipatuhi dan benar-benar melindungi berbagai kepentingan dan hak komunitas serta masyarakat adat, 8) Memastikan apakah standar rspo sesuai dengan kenyataan indonesia dan benar-benar dapat diterapkan oleh komunitas lokal, pejabat pemerintah dan perusahaan, 9) Membuat rekomendasi yang terkait dengan agenda reformasi hukum, kebijakan dan prosedur yang seharusnya diambil oleh pemerintah indonesia untuk melindungi ha-hak masyarakat adat dan komunitas lokal sesuai dengan kewajiban negara yang tertera dalam hukum internasional.

Dari penelitian lapangan itu dapat ditarika beberapa catatan penting yaitu;

Hukum Memperlemah Perlindungan Hak Adat atas Nama ‘Kepentingan Nasional’

Kesenjangan antara prinsip hukum dan kenyataan di lapangan juga ditemukan dalam isu hak-hak atas tanah. Di satu sisi, hukum mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka, sementara di sisi lain prosedur pengukuhan status hukum hak atas tanah adat sangat jarang diterapkan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tata-cara pengukuhan status hukum kepemilikan perorangan di Indonesia juga sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan kepemilikan baru atas tanah lainnya yang dibuat. Sementara reformasi hukum di bidang kehutanan dan agraria sebagaimana diamanatkan oleh ketetapan MPR yang telah ditetapkan lima tahun yang lalu (TAP MPR IX/2001) masih belum menunjukan dampak yang signifi kan.

Kebijakan Berpihak pada Pembangunan Perkebunan Skala Besar

Disisi lain, Konstitusi dan hukum Indonesia mengakui Hak Menguasai Negara dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hukum membiarkan pengaturan lahan untuk kepentingan Negara dan kepentingan sektor swasta sesuai dengan rencana pembangunan nasional. Walhasil, semua hak-hak yang ada pada masyarakat dengan mudah diabaikan untuk perluasan sektor swasta.

Hukum dan peraturan dibuat untuk mendorong pembangunan perkebunan. Walaupun dibuat untuk memastikan keamanan investasi, perencanaan yang terkoordinasi, kepentingan umum dan penyelesaian konflik tumpang-tindih hak, namun hukum dan peraturan tersebut sedikit sekali membuat ketentuan pengukuhan status hak terhadap hak-hak dan kepentingan komunitas. Seringkali hukum memperlakukan apa yang pada kenyataannya adalah tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai tanah Negara.

Tanah tanah yang dianggap sebagai tanah Negara adalah tanah tidak dibebani hak atau diberikan kepada perusahaan melalui proses yang menempatkan masyarakat pada posisi dimana hanya sedikit sekali hak yang benar-benar diakui pemerintah. Hak-hak masyarakat adat selanjutnya dihilangkan dan dipinjamkan kepada perusahaan sebagai penyewaan 90-an tahun atas tanah Negara.

Konversi Hutan dari Ketidakpastian Hukum

Pada tahun 1982 sekitar 142 juta hektar daratan Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan, yang 30% diantaranya dikategorikan sebagai kawasan untuk konversi. Tata-cara untuk menerapkan kebijakan ini dikembangkan untuk berbicara dengan masyarakat lokal dan lembaga yang berwenang tentang kawasan tersebut sebelum diukur dan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara jika memang bebas status. Hingga kini baru 12% dari Kawasan Hutan tersebut telah dikukuhkan sebagai Kawasan Hutan Negara. Sisanya secara hukum statusnya tidak jelas.

Walaupun demikian, dari sudut pandang administrasi semua kawasan hutan diperlakukan seolah-olah kawasan tersebut dimiliki oleh negara dan banyak yang telah dilepaskan untuk tujuan konversi sebelum dikukuhkan. Ini secara hukum merupakan persoalan karena kawasan-kawasan tersebut bisa saja terdapat hak lainnya dan oleh karena itu Negara seharusnya tidak memberikan kawasan tersebut kepada pihak ketiga. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa 23 juta hektar kawasan hutan telah dialih-fungsikan menjadi kawasan bukan hutan yang sebagian besar adalah untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit tetapi hanya 6 juta hektar yang benar-benar ditanami kelapa sawit. Proses ini masih sedang terjadi.

Studi Kasus Menunjukan Perbedaan dalam Penafsiran Hukum ditingkat Propinsi

Penelitian ini jelas menunjukan bagaimana masyarakat adat di 6 (enam) wilayah studi kasus benar-benar menikmati hak-hak atas wilayah dan pemerintahan sendiri melalui lembaga-lembaga adat berdasarkan hukum adat yang berlaku. Jelas sekali ditemukan kelompok yang mengatur tanah sebagai hak milik bersama (tanah ulayat) tunduk kepada aturan yang mengatur kepemilikan tanah, jual beli tanah dan keanggotaan kelompok.

Walaupun begitu, penelitian ini juga menunjukan setiap propinsi sangat beragam dalam kaitan pemerintah daerah menerima hak atas tanah pada masyarakat lokal selain berkerja dalam kerangka hukum nasional. Di Kalimantan Barat, hak ulayat tanah adat diberikan sedikit pengakuan yang sebagian besar diakui sebagai hak pakai atas tanah Negara. Di Lampung, hak ulayat diterima dalam pengadilan adjudikasi tetapi administrasi pemerintahan jarang sekali mengakui hak komunitas pada tanah sebaliknya lebih memilih mengeluarkan status hak milik perorangan kepada warga desa. Di Sumatra Barat, sebaliknya, pemerintah propinsi mengakui hak tanah ulayat milik bersama dan jurisdiksi kelembagaan adat sebagai lembaga pemerintahan sendiri (Nagari) dan komunitas diperlakukan sebagai pemegang/pemilik hak.

Pelecehan Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Studi kasus mengungkapkan bahwa masyarakat setempat mengalami persoalan serius dan sebagian besar mengalami konflik atas tanah dengan perusahaan. Muncul perasaan ditengah masyarakat bahwa mereka ditipu atas tanah mereka, dijebak dalam kesepakatan melalui janji-janji palsu serta mengabaikan suara mereka dalam proses pembuatan kebijakan. .

Kegagalan Hukum dan Kerangka Kebijakan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa proses-proses yang mengarah pada pelanggaran hak-hak dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit bersumber dari:
1. Kontradiksi hukum, gagal menjamin hak masyarakat adat namun pada saat yang sama terus mendorong pengambil-alihan lahan untuk proyek-proyek komersial atas nama ‘kepentingan nasional’
2. Tidak ada peraturan, mengakibatkan tata-cara untuk pengakuan terhadap hak-hak kolektif masyarakat hukum adat tidak jelas;
3. Lemahnya kapasitas kelembagaan, birokrasi badan pertanahan baik ditingkat daerah dan pusat membuat pengakuan terhadap hak ulayat (adat) sulit;
4. Kebijakan pusat dan daerah serta proses perencanaan tata ruang mendukung konversi terhadap tanah-tanah ulayat dan hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pusat.


Tantangan Rekomendasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai lembaga tertinggi dalam legislasi Negara mengakui pentingnya perubahan hukum Indonesia yang berkaitan dengan pertanahan dan sumber daya alam, dan khususnya terhadap adat. Oleh karena itu, penelitian ini membuat beberapa saran konkrit tentang reformasi hukum yang mendasar penting untuk memberikan perubahan nyata ini melalui:
1. Penyeimbangan kontrol hak negara dengan penghargaan sebesar-besarnya bagi hakhak masyarakat sehingga kepentingan masyarakat aman dari kegiatan pembangunan nasional;
2. Menghapus berbagai hambatan terhadap pengakuan hak ulayat dalam UUPA, UU Kehutanan dan UU perkebunan;
3. Menilai kembali status hukum kawasan hutan dan batas-batas konversi untuk menentukan kawasan mana yang sesungguhnya adalah tanah-tanah masyarakat;
4. Membuat undang-undang bagi perlindungan masyarakat adat untuk menjamin hakhak konstitusi yang belum dijamin oleh undang-undang lainnya;
5. Menerapkan prosedur yang mewajibkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent) dari masyarakat hukum adat sebagai prasyarat perizinan perkebunan kelapa sawit pada tanah-tanah mereka.

Langkah Menuju Keadilan

Penelitian ini mengakui bahwa reformasi hukum akan memerlukan waktu dalam merumuskan dan menerapkannya. Dimasa perbaikan hukum tersebut, diperlukan mekanisme yang dikembangkan untuk menyelesaikan konfl ik yang sedang terjadi antara
perusahaan dan masyarakat, memperlakukan masyarakat sebagai pemilik tanah dan perundingan untuk pembayaran ulang atau kompensasi untuk tanah yang telah diambil secara tidak adil. Mekanisme-mekanisme semacam inilah yang sesungguhnya diperlukan oleh standar RSPO.

Temuan-temuan dari penelitian adalah bahwa sangat sedikit perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mungkin dapat memenuhi standar RSPO, dalam jangka pendek. Sesungguhnya kebijakan dan kerangka hukum menerapkan proses pengadaan lahan dan pembangunan perkebunan sangat bertolak-belakang dengan standar RSPO. Hukum dan kebijakan Indonesia menolak hak ulayat/adat, mendorong sanksi negara atas pencaplokan
lahan, dan mengabaikan prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Jika pendekatan pembangunan perkebunan yang diterapkan sekarang ini tidak berubah, maka minyak sawit Indonesia yang diproduksi ‘tidak berkelanjutan’ akan dikeluarkan dari pasar-pasar internasional.

Sebagai intermezo terakhir, “sipak ka pulang”, setelah kening berkerut membaca resume penelitian yang menghasilkan buku tanah yang Dijanjikan/Promise Land ini, si “Parewa” ingin menyampaikan satu lagi pengalaman penelitian ini. Mungkin kegelian anda akan berubah menjadi terpingkal-pingkal ketika si “Parewa” meminta si penterjemah menjelaskan pada si Doktor untuk hati-hati plus dengan segala persyaratan yang tidak di pahami dunia barat, ketika bertamu ke rumah seorang lawan masyarakat karena ia mempunyai ilmu kebatinan tingkat tinggi, betapa membingungkan. Disitulah hebatnya sipenterjemah, entah bagaimana dia menjelaskan, yang jelas keluar dari tempat itu tak kurang satu apapun, meskipun harus juga keluar segala tipu dan kelit, sekalian dengan reiki membungkus tubuh.

Catatan
1. Substansi tulisan singkat ini berasal dari eksekutif summary buku Tanah Yang Dijanjikan, jadi bukunlah milik penulis saja, jadi kalau akan dikutip, silahkan kutip langsung di bukunya.
2. Parewa adalah satu golongan pemuda di Minangkabau pada jaman dulu.
3. Cimeeh adalah Cemooh
4. Kampuang Nan Jauah Dimato adalah Kampung Yang Jauh Dari Mata
5. Anak Dagang adalah perantau
6. Sato Sakaki dalam bahasa Indonesia Ikut Se Kaki, artinya ikut sedikit.
7. Khusus untuk catan lengkap mengenai salah satu contoh konflik perkebunan di Sumatera Barat, baca ”Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang” di http://andikosutanmancayo.blogspot.com/