Monday, May 08, 2006


Desah Tumirah

Ode untuk Tumirah, Pelacur Imaginer

Tuhan, desahku

Stasiun ini telah sampai pada desimal ratusan tahun
memberangkatkan ketimpangan,
di gedung tuanya Tumirah terhempas pada pelacuran
dihimpit kemiskinan.

Terngiang simbok bilang
itu takdir nduk dan harus nrimo
sebab di desa kita hanya pesanggem yang saban hari
hanya mengumpulkan rencekan dan sampah daun jati hutan.

Mbok....mengapa Mandor Bejo mesti di kasi pisang, sementara dia memandang rendah kita,
berkata lagi mbok dalam lusuh wajahnya...

Nduk, karena dia yang memberikan kehidupan, hingga kita mesti jalan menunduk dan menepi jika berpapasan.
Ingatlah nduk, dia telah berbaik hati membuka pintu hutan. Dia juga pewaris hutan dari Sinuwun yang kalah perang
dari Londo Puteh yang terusir, kemudian kita dibebaskan.

Tapi mbok, kenapa ia berubah jadi Londo Ireng yang petantang petenteng, kemudian kerapkali kirim kita kepenjara karena
sepotong jati.

......sabar nduk...sabar....di surga gusti Allah punya kebun jati luas untuk kita.

Mendesah Tumirah diantara helaan teh pociku.....
Mbok....lebih baik kujual hutan kecilku, tetapi merdeka, tanpa belas kasihan..yach lebih baik
tak bermoral, karena moral dan kesopanan milik ndoro pemilik lahan dan penguasa hutan.
Pada dengus terakhir kereta akan berangkat, Tumirah kembali mendesah...
Maafkan aku mbok, sebentar lagi kita akan bertemu di penjara, karena aku tergaruk operasi pornografi,
kata sobekan koran nasi kucing, ndoro tuan legislatif lagi kenceng bahas RUU APP.

Mbo, pergilah tidur segera, sungguh kau tidak akan mengerti karena tidak pernah sekolah,
esok subuh sekali kumpulkanlah rencekan dan daun jati, agar perut tak bunyi, aku tidak akan pernah membantumu,
karena aku benci
dan maaf bulan ini aku tak kirim duit, tamu berduit tak datang mampir, karena mereka emoh pada ketuaanku yang mulai sakit-sakit
apalagi ciblek ABG murah-murah, laris manis seperti kacang goreng.

Stasiun Tawang 26 April 2006, menjelang Malam