Friday, November 17, 2006

Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang (tamat)

III. Beberapa Kesimpulan Sementara

Dari uraian-uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sementara tentang kasus perkebunan di Nagari Kapar Kab. Pasaman, Sumbar.
1. Investor perkebunan diberikan kemudahan oleh Hukum Positif nasional dan Aparatur pemerintahan pada saat awal perkebunan dibangun di Pasaman. Secara tidak langsung hukum positif hukum positif memberikan fasilitas dan perlindungan yang maksimal terhadap investor perkebunan. Sedangkan perlindungan hak masyarakat sangat minim sekali. Tindakan aparatur pemerintah juga memberikan ruang sangat luas bagi investor perkebunan.
2. Pendekatan yang dilakukan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah dengan memberikan keistimewaan dan fasilitas terhadap pemodal dengan harapan akan diikuti dengan dampak ikutan yang akan mensejahterakan masyarakat disekitarnya. Tetapi ternyata teori ini keliru, atau paling tidak teori ini tidak terlaksana sepenuhnya.
3. Elit-elit lokal seperti beberapa ninik mamak pemegang posisi kunci dalam pengambilan keputusan pengelolaan dan alokasi ulayat ikut tergerus dalam pusaran besar penetrasi modal perkebunan di daerahnya. Dalam konteks ini dapat dikategorikan beberapa golongan ninik mamak tersebut;
a. Ninik mamak yang secara sadar menolak keberadaan perkebunan besar, tetapi karena kuat dan masifnya tekanan, menyebabkan golongan ini tersingkir.
b. Ninik mamak yang hanya mengikuti arus saja.
c. Ninik mamak yang menjadi aktor dan memanfaatkan situasi dan posisinya untuk kepentingan pribadinya. Tapi jika melihat keinginan mereka untuk kembalinya tanah ulayat setelah HGU perkebunan habis, timbul satu dugaan, pada tahap awal mereka juga tidak mendapat informasi yang cukup tentang aturan-aturan yang berlaku pada perkebunan, tertipu dan pada akhirnya ketika melihat jumlah uang ”siliah jariah” yang sangat banyak pada saat itu, menyebabkan mereka menikmati ketertipuannya. Bahkan secara tidak langsung juga mendorong mereka untuk melakukan pelepasan demi pelepasan tanah ulayat pada berbagai pihak, karena sudah merasakan kenikmatan mempunyai uang banyak.
4. Dalam proses pelepasan lahan, ninik mamak memaksakan diri sebagai wakil penuh dari masyarakat atau anak kemenakannya, sehingga pelepasan lahan dilakukan tanpa persetujuan yang utuh dari anak kemenakan dan dalam beberapa kasus, pelepasan dilakukan tanpa persetujuan dari anak kemenakan. Akibatnya, berbagai tuntutan lahir sampai hari ini.
5. Peraturan hukum positif dan aparatur pemerintah memberikan ruang bagi pelepasan hak ulayat tanpa dukungan dan persetujuan anak kemenakan ini. Fakta ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya aturan maupun kebijakan pemerintah yang mengharuskan adanya bukti tertulis musyawarah antara ninik mamak dan anak kemanakan sebelum dokumen pelepasan hak ulayat ditandatangani oleh ninik mamak sebagai wakil dari anak kemenakan pemegang hak ulayat.
6. Dalam pengelolaan plasma, juga terjadi masalah yang berhubungan dengan manajemen misalnya tidak transparannya KUD sebagai pengelola plasma kepada anggotanya dan terjadinya pemberian hak plasma kepada orang-orang yang dulunya bukanlah pemegang hak ulayat atas tanah plasma tersebut (jual beli lahan plasma).
7. Pemerintah Daerah juga seperti kehilangan akal untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada karena kurangnya sumberdaya manusia. Kurangnya sumberdaya manusia ini menyebabkan inofasi-inofasi media dan alternatif solusi penyelesaian konflik menjadi terbatas. Apalagi pemerintah daerah tidak mempunyai skenario yang lain selain mempertahankan perkebunan besar di Pasaman.
8. Perusahaan tidak mau bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul dilapangan dengan alasan mereka telah memenuhi semua prosedur hukum yang berlaku. Perbaikan tindakan akan dilakukan sepanjang adanya aturan-aturan yang mengatur tentang itu.
9. Terdapat tingkatan tuntutan masyarakat dalam konflik-konflik perkebunan di Pasaman ini. Pertama kelompok masyarakat yang menuntut agar tanah ulayatnya dikembalikan karena sejak awal mereka memang tidak setuju dengan adanya perkebunan dan kedua, kelompok masyarakat yang menuntut pembagian plasma.

Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang...(sambangan 1)

II. Dari Koto Sibadaguang ke Pasaman

Seperti yang sudah dijelaskan dibagian sebelumnya, Minangkabau terbagi atas daerah Minangkabau Asli dan Minangkabau Rantau. Menurut Syarifudin (1984) daerah Minangkabau dapat dibagi dalam dua lingkungan wilayah yaitu :
1. Minangkabau asli, yang oleh orang Minangkabau disebut daratan (darek),yang terdiri dari tigo luhak yaitu Luhak Agam. Tanah Datar dan Limo Puluh Kota.
2. Daerah rantau yang merupakan perluasaan bentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu :
a. Rantau Luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman.
b. Rantau Luhak Limapuluh Kota yang meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan dan Rokan Kiri dan Rokan Hilir.
c. Rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubuang Tigo Baleh, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh.

Jika diperhatikan hal diatas, dapat kita tarik kesimpulan, Pasaman adalah daerah rantau Minangkabau dan persisnya merupakan rantau Luhak Agam. Sebagaimana ketentuan adat, di Pasaman memakai sistem adat beraja-raja dimana sistem pemerintahan adat diatur secara hirarkis, berpuncak pada raja atau pucuk adat setempat.

a. Pasaman, Dari Daulat Yang Dipertuan Parik Batu Ke Pemerintahan Administrasi NKRI

Sebagai daerah rantau, Pasaman tunduk dalam rentang kendali Raja Alam Minangkabau. Sebagian wilayah yang saat ini menjadi Kabupaten Pasaman Barat, dalam struktur Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung, berada dibawah kendali Daulat Yang Dipertuan Parit Batu yang berpusat di Nagari Lingkuang Aur-Simpang Empat, Pasaman Barat.

Daulat Yang Dipertuan Parit Batu menggorganisasikan nagari-nagari semi otonom dibawah rentang kendalinya. Kerajaan Parik Batu mulai dibangun dilereng Gunuang Pasaman. Tempat asal mereka bernama Koto Sibuluan. Diawal perkembangan wilayah, Daulat yang Dipertuan Parik Batu mengangkat pimpinan-pimpinan adat dinagari-nagari dibawah kendalinya. Wilayah kekuasaannya diantaranya 1) Sibadaguang ba ampek koto, 2) Sariak balareh limo koto, 3) Koto Tinggi Tabiang Tinggi dan 5) Lubuak Basiku Koto Birah. Untuk mengendalikan dan menggorganisasikan wilayah tersebut, dibentuk struktur adat yaitu Tuan Kadi mengatur masalah Agama dan Hakim Nan Sambilan mengatur masalah pemerintahan. Selain itu ditunjuk pejabat-pejabat yang ditempatkan di wilayah-wilayah nagari (Jambak Nan Ampek Induak) yaitu 1) MAJOLELO Di Lubuak Batang, 2) Datuk Jolelo Di Kampuang Jambak, 3) Jolelo Di Aur Kuniang jo 3) Panji Alam Di Aie Gadang.

Setelah daerah-daerah kekuasaan berkembang, Daulat Yang Dipertuan Parik Batu kemudian mengorganisasikan kekuasaan nagari-nagari dibawahnya. Daulat kemudian membentuk wilayah semi otonom yang disebut dengan Luak Saparampek. Luak Nan Saparampek terdiri dari 1) Aua Kuniang yang dipimpin oleh MAJO INDO 2) Aie Gadang yang dipimpin oleh Sutan LAUIK API, 3) Lubuak Pudiang (Kapar) dibawah pimpinan GAMPO ALAM dan 4) Koto Baru dibawah pimpinan SINARO. Selanjutnya nagari-nagari berkembang dan berdirilah lembaga Rajo Nan Batujuah. Nagari-nagari tersebut adalah 1) Kanaikan dibawah pimpinan MAJOLELO di, 2) Tampek Digungguang dibawah pimpinan DT. SATI, 3) Sikabau dibawah pimpinan DT. PANCANG 4) Bungo Tanjuang (Aia Bangih) dibawah pimpinan RANGKAYO 5) Sikilang dibawah pimpinan DT. BASA, 6) Tanah Taban dibawah pimpinan KAPALO DEWA dan 7) Ampalu dipimpin oleh SUTAN.

Seluruh wilayah kekuasaan adat Daulat Yang Dipertuan Parik Batu kemudian menjelma menjadi nagari-nagari administrasi saat ini. Ikatan adat mesih kuat terbangun, tapi secara administrasi pemerintahan, nagari-nagari ini berada dalam rentang kendali pemerintahan administrasi NKRI.

Kabupaten Pasaman terbentuk bersamaan seiring dengan berdirinya Sumatera Barat sebagi sebuah propinsi. Pada awal terbentuknya, administrasi pemerintahan tingkat terendah di Kab. Pasaman tetap berdasarkan sistem nagari-nagari seperti layaknya kabupaten lain di Sumatera Barat. Tetapi setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa, fungsi nagari sebagai penyelenggara pemerintahan terendah dihapus dan digantikan dengan sistem desa. Berdasarkan Perda Sumbar No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai Satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat, fungsi nagari sebagai satu pemerintahan adat/asli di Minangkabau diperkecil fungsinya menjadi satu kerapatan adat saja yang tidak mempunyai hak eksekusi keputusan-keputusan administratif penyelenggaraan nagari. Nagari sebagi satu kesatuan pemerintahan terendah di Minangkabau berubah menjadi kawasan politik yang didalamnya terdapat pemerintahan-pemerintahan desa uang sangat sentralistik dan hirarkis.

Di Kabupaten Pasaman sampai lahirnya Perda Sumbar No. 9 Tahun 2000 tentang Nagari terdapat kenagarian-kenagarian yaitu 1}. Aia Bangih, 2}.Aia Gadang, 3}. Aia Manggih, 4}. Alahan Mati, 5}. Aua Kuniang, 6}. Batahan, 7}. Binjai, 8}. Cubadak, 9}. Desa Baru, 10}. Durian Tinggi, 11}. Jambak, 12}. Ganggo Hilia Bonjol, 13}. Ganggo Mudiak, 14}. Kajai, 15}. Katiagan, 16}. Kapar, 17}. Kinali, 18}. Koto Baru, 19}. Koto Nopan, 20}. Koto Kaciak, 21}. Koto Rajo, 22}. Ladang Panjang, 23}. Lansak Kadok, 24}. Languang, 25}. Limo Koto, 26}. Lingkuang Aua, 27}. Lubuak Gadang, 28}. Lubuak Layang, 29}. Malampah, 30}. Muaro Kiawai, 31}. Muaro Sei. Lolo, 32}. Muaro Tais, 33}. Padang Gelugur, 34}. Padang Matinggi, 35}. Panti, 36}. Parik, 37}. Pauah, 38}. Robi Jonggor, 39}. Sasak, 40}. Silayang, 41}. Simpang, 42}. Simpang Tonang, 43}. Sinurut, 44}. Sundatar, 45}. Sungai Aua, 46}. Talu, 47}. Tanjuang Beringin, 48}. Taruang Taruang dan 49}. Ujuang Gadiang.

Pada tahun 2003, secara resmi Kab. Pasaman di mekarkan. Wilayah Kabupaten Pasaman di pesisir pantai barat Sumatera Barat kemudian membentuk Kabupaten Sendiri dengan nama Kabupaten Pasaman Barat . Kabupaten Pasaman Barat mempunyai batas wilayah a) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara, b) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Duo Koto, Kecamatan Panti, Kecamatan Lubuk Sikaping, dan Kecamatan Tigo Nagari Kabupaten Pasaman, c) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Palembayan dan Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam dan d) sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kabupaten Pasaman Barat berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Pasaman yang terdiri atas 1) Kecamatan Talamau; 2) Kecamatan Kinali, 3) Kecamatan Pasaman, 4) Kecamatan Gunung Tuleh, 5) Kecamatan Lembah Melintang, 6) Kecamatan Sei Beremas; dan 7) Kecamatan Ranah Batahan.








b. Tinjauan Selintas Pengaturan Tanah Ulayat di Lubuak Pudiang-Luhak Saparampek Kapa.

Jika anda ke Minangkabau (Sumatera Barat), langkahkanlah kaki menyusuri pantai barat, melangkahlah ke utara. Disepanjang jalan dari satu nagari-kenagari selanjutnya akan diselingi dengan angin pantai yang berhembus diantara semak-semak bakau. Setelah sampai di nagari Manggopoh, belokkanlah kendaraan anda kekiri. Disepanjang jalan akan diselingi oleh bentangan perkebunan sawit. Ketika anda sampai di sebuah sungai besar yang bernama Batang Masang, itulah batas terluar antara Kabupaten Agam dengan Kabupaten Pasaman Barat dan pada sungai itu pula batas akhir areal perkebunan sawit PT. Agro masang Plantation-Wilmar Group.

Gambar 1 Peta Kapar

Melangkahlah lagi untuk melihat perkebunan demi perkebunan. Seiring dengan tertinggalnya Simpang Padang Sawah, terlewati Nagari Kinali, kemudian Koto Baru Simpang Tiga, Nagari Jambak dan pas pada hitungan ke 180 Km dari titik berangkat dikota Padang kearah utara tadi, terdapat kota kecil yang telah melewati rentang sejarah panjang yang saat ini menjadi ibu kota Kab. Pasaman Barat yang bernama Simpang Ampek. Jalan yang anda jejaki akan membelah menjadi empat ruas dan ditengah-tengah jalan itu terdapat satu tugu berbentuk tandan buah segar kelapa sawit.

Mengarahlah kekiri, 8 Km dari tugu ini terdapat Lubuak Pudiang-Luhak Saparampek Kapa atau saat ini bernama Nagari Kapar, nagari yang posisinya terdapat diantara nagari Aur Kuning dan Nagari Sasak yang berbatas dengan ”Ombak Badabua”, Lautan Hindia. Nagari Kapar secara adat berada dalam rentang kendali Daulat Yang Dipertuan Parit Batu. Pada saat itu, Kapar disebut sebagai ”Luhak Saparampek Kapa” dibawah pimpinan Gampo Alam. Nagari Kapar adalah terletak didataran yang landai, datar dan pada bagian barat berbatasan dengan Nagari Sasak dipantai barat lautan Hindia. Nagari Kapar sebagaimana layaknya daerah Pasaman Barat, kab Pasaman sangat potensial untuk dijadikan daerah perkebunan besar. Sebelum diundangkannya Perda Sumbar No. 9 Tahun 2000 Tentang Pemerintahan Nagari, Nagari Kapar terbagi atas tiga desa yaitu; Desa Kapar Timur, Desa Kapar Utara & Desa Kapar Selatan, berpenduduk kurang lebih 5000 jiwa dengan luas areal tanah Ulayat Nagari Kapar ± 3500 Ha.

Dibawah Gampo Alam terdapat struktur Ninik Mamak Ampek Didalam yang terdiri dari Jando Lela, Rajo mahmud, Rangkayo Mudo, Sutan Ameh dan Ninik Mamak Ampek Dilua yang anggotanya terdiri dari Rangkayo Basa, Sutan Majo Lelo, Tan Kabasaran, DT. Bungsu (Panyambah Tuah) menjaga kebesaran Gampo Alam, penegak hukum pidana adat dan perdata adat. Ninik Mamak Ampek Didalam bertugas untuk mengelola sumberdaya alam (ulayat) di nagari Kapar atau dalam bahasa adat disebut dengan ”Panaani Sako”. Sedangkan Ninik Mamak Ampek Dilua bertugas untuk menegakkan hukum adat untuk menjaga kebesaran Gampo Alam atau dalam bahasa adat disebut dengan ”Panyambah Tuah”.

Secara adat di Nagari Kapar, konsep pengelolaan sumberdaya alam khususnya tanah (ulayat), disebut dengan ”Babingkah Adat” . Konsep berbingkah adat membagi tanah ulayat atas dua yaitu :
a. Ulayat yang sudah di Ulayati
Ulayat yang sudah diulayati adalah bidang-bidang ulayat yang merupakan hak masing masing suku dengan batas-batas tertentu. Misalnya kampung Dt. Tan Ameh. Dt. Tan Ameh mempunyai kekuasaan untuk mengatur pemamfaatan dan distribusi aset tersebut kepada anak kemenakan disukunya. Meskipun sudah diadakan pembagian ulayat kepada seluruh anak kemenakan, tentu ada juga lahan kosong yang tidak tergarap. Maka jika ada anak kemenakan dari suku lain ingin menggarap lahan kosong tersebut, maka Dt. Tan Ameh mau tidak mau harus memfasilitasi/memberikan ijin. Demikian juga sebaliknya.
b. Ulayat
Yang dimaksudkan dengan ulayat disini adalah aset-aset lain yang belum didistribusikan kepada masing-masing suku. Dinagari lain disebut dengan ulayat nagari. Pengelolaan Ulayat diatur oleh ninik mamak Barampek Didalam . Fungsi Ninik Mamak Ampek Didalam dalam mengelola ulayat ini disebut dengan dengan “Mainang Mangubalo Adat”. Ulayat tersebut dapat berupa hutan-hutan dan lain-lain. Jika anak kemenakan sudah sangat membutuhkan ulayat tersebut untuk kehidupannya, maka ninik mamak yang tergabung dalam kelompok Ampek Didalam akan menyelenggarakan rapat untuk mengkaji dan mengatur distribusi lahan ulayat tersebut. Anak kemenakan yang dimaksud disini adalah anak kemenakan keseluruhan di Nagari Kapar. Tidak hanya terbatas kepada sukunya saja. Sekaligus dipertegas ketentuan bahwa ulayat ini tidaklah boleh dijual. Hal ini ditegaskan dalam pepatah adat yang menyebutkan bahwa mahal tidak dapat dibeli dan murah tidak dapat diminta.

Namun demikian, meskipun telah ada pembagian ulayat menjadi ulayat yang diulayati, hak pengusaan belum penuh sampai pada waktu tertentu, tanah tersebut tetap di peladangi atau dikelola oleh sipenerima hak. Lazimnya, jika anak kemenakan ingin menguasai tanah tersebut untuk jangka waktu yang lama, maka pada pinggir tanah tersebut ditanam tanaman tua.

Berbeda halnya dengan nagari Kinali, kurang lebih 30 Km dari Kapar, konsep penguasaan tanah ulayat disebut dengan ”Babingkah Tanah”. Babingkah tanah artinya seluruh tanah-tanah yang ada di nagari Kinali telah terbagi habis dalam penguasaan suku-suku yang ada di nagari tersebut. Suku yang satu tidak dapat mengausai lagi tanah-tanah yang telah dikuasai oleh suku lainnya, kecuali melalui mekanisme gadai dan sebagainya. Tidak ada tanah yang bebas dari penguasaan salah satu suku di nagari ini seperti pada Ulayat di nagari Kapar.

Kembali ke Nagari Kapar, Pelepasan hak hanya bisa dilakukan atas ulayat yang sudah diulayati. Terhadap ulayat, tidak seorangpun bisa melakukan pelepasan hak. Karena prinsip dari ulayat adalah areal cadangan untuk kebutuhan anak kemenakan dikemudian hari. Ada tiga hal yang menjadi syarat dibolehkannya pelepasan hak atas ulayat yang sudah diulayati. Sama dengan daerah di minangkabau lainnya, untuk bisanya tanah ulayat yang sudah diulayati dilepaskan melalui lembaga gadai haruslah memenuhi syarat-syarat 1) Gadih gadang indak balaki, 2) Rumah gadang katirisan, 3) Mayik tabujua ditangah rumah dan 4) Mambangkik Batang Tarandam.

Jika salah satu diantara ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka pelepasan hak dapat dilakukan. Pelepasan dilakukan bukanlah dalam bentuk jual beli, tetapi hanya dalam bentuk gadai. Anak kemenakan yang akan menggadai harus mendiskusikan dengan mamak Jurainya. Mamak Jurai akan mengizinkan dengan syarat, sipenerima gadai tersebut haruslah dari kalangan keluarga sendiri. Atau paling jauh anak kemenakan sekampung/sesuku. Atau kemungkinan terburuk adalah kepada anak kemenakan se-nagari. Jika kesepakatan didapat maka dilakukanlah penggadaian.

Jika kesepakatan tidak terwujut, secara berjanjang naik anak kemenakan tersebut akan menyampaikan kepada mamak kaum. Jika tidak juga tercapai, maka pada lefel penyelesaian sengketa selanjutnya adalah kepada mamak suku/kampung yang tergabung kedalam ninik mamak Ampek Didalam. Contohnya mamak suku Tanjung adalah Rangkayo Mudo. Pada tingkat selanjutnya, jika Rangkayo Mudo tidak juga mengizinkan maka anak kemenakan tersebut dapat meminta izin kepada ninik mamak lain yang menjadi anggota Ampek Didalam. Jika tidak juga dapat diputuskan maka secara hirarkis, Rajo Mahmud sebagai yang tertua (koordinator) dari ninik mamak Ampek Didalam akan menyampaikan hal tersebut kepada Pucuk Adat Gampo Alam. Berdasarkan hal tersebut kemudian Gampo Alam akan memutuskan apa yang terbaik. Tapi jika ternyata urusan lancar-lancar saja, semua ninik mamak di Nagari Kapar mempunyai kewenangan untuk memutuskan perkara yang menyangkut anak kemenakannya. Sesuai dengan levelnya masing-masing.

Gambar 2 Alur Penyelesaian Sengketa Adat

Pada semua tingkat penyelesaian sengketa tersebut, anak kemenakan mempunyai hak untuk diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Bisa dalam benduk diskusi, tanya jawab dan lain-lain. Tindakan ini diambil untuk mendapatkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses pendiskusian ini didalam adat disebut dengan istilah “Pancang Silao”.

Beberapa ninik mamak di Nagari Kapar tidak mempunyai hak untuk memutuskan perkara anak kemenakannya. Ninik Mamak yang tergabung kedalam “ninik mamak yang tagaknyo indak tasundak, duduaknyo indak tapampeh” (Dt. Sutan Majo Lelo dan Majo Lelo) tidak mempunyai kewenangan ”gantiang nan mamautuih, biang nan mancabiak” atau kewenangan untuk memutuskan. Jika terjadi sengketa dalam kaumnya, maka yang berhak memutuskan adalah mamak suku yang tergabung kedalam ninik mamak Ampek Didalam. Tentang pembagian ulayat, mereka sangat tergantung atas kemurahan ninik mamak yang tergabung dalam ninik mamak Ampek Didalam. Karena sebenarnya kedua orang ini lebih dekat berhubungan dengan Dulat yang Dipertuan Parik Batu. Karena beliau adalah orang yang ditempatkan di dalam Nagari Kapar

Dalam beberapa kasus, posisi Daulat Yang Dipertuan Parik Batu sangat menentukan dalam penyelesaian sengketa, mengingat posisi ini level tertinggi dari semua ninik mamak di Pasaman, termasuk Nagari Kapar. Fungsi ini dijalankan oleh Hakim Nan Sambilan.

Pada intinya tidak ada satupun alasan yang bisa membuat seorang anak kemenakan ataupun ninik mamak untuk dapat melakukan pelepasan hak terhadap ulayat maupun ulayat yang sudah diulayatinya. Berdasarkan prinsip kolektifisme kekeluargaan , pelepasan hak dapat dihindari.

Bagaimanakah jika ada pihak lain yang ingin berladang di nagari Kapar ?. Berdasarkan prinsipnya, ulayat di Nagari Kapar berfungsi sebagai tanah cadangan bagi anak kemenakan. Namun demikian, tetap terbuka kemungkinan bagi pihak lain diluar anak kemenakan penduduk nagari Kapar untuk mengelola tanah ulayat.

Ada dua istilah adat yang berkembang dan begitu populer digunakan pada awal-awal perkebunan masuk ke Pasaman dan Kapar, istilah tersebut adalah ”Adat Di Isi, Limbago Di Tuang” dan ”Siliah Jariah”. Istilah ”Adat Di Isi, Limbago Di Tuang” mengandung makna serangkaian usaha-usaha memenuhi ketentuan adat untuk memperoleh hak tertentu dan dalam konteks ini adalah hak berladang. Sedangkan ”Siliah Jariah” secara sederhana dapat diartikan sebagai pengganti jerih payah. Dapat diartikan bahwa”Siliah Jariah” merupakan pengganti dari energi dan fikiran dalam mengusahakan sebidang tanah yang dilakukan oleh pemiliknya.

Kedua istilah ini sangat populer dalam perolehan hak atas tanah. Tetapi dari wawancara yang dilakukan, baik lembaga ”adat di isi, limbago dituang” dan lembaga ”siliah jariah” ini tidak mengakibatkan hak atas tanah berpindah, yang berpindah hanyalah hak pengelolaan. Bagaimana jika seseorang dari komunitas diluar komunitas asli ingin mendapatkan hak pengelolaan yang kuat dan penuh sebagaimana layaknya hak atas tanah yang lahir dari peruntukan melalui lembaga ”ganggam bauntuak, hiduik bapadok” ?. Orang tersebut semestinya melalui rangkaian inisiasi adat berupa penundukan diri dan lebur dalam suku-suku asli. Disinilah kemudian berlaku pembedaan kamanakan. Dalam kasus ini, orang tersebut dapat berstatus ”kamanakan dibawah lutuik” dan jika dilihat dari penyebab timbulnya kamanakan ini, dia dapat digolongkan kedalam ”kamanakan batali ameh”.

c. Perkebunan Merambah Pasaman

Seperti yang telah kita ungkap diatas, Pasaman sebagai satu kawasan, telah lama menjadi kawasan perdagangan yang melibatkan berbagai bangsa. Bagian barat Pasaman yang terdiri dari daerah-daerah pantai yang dimulai dari Katiagan dibagian Selatan dan berakhir di aia Bangih di bagian utara telah menjadi persinggahan pedagang-pedagang eropah seperti Inggris dan Belanda. Katiagan yang dibatasi oleh batang Masang yang memisahkan wilayahnya dengan Tiku di daerah Agam pernah terdapat pusat perdagangan yang sangat maju dengan pialang utama bernama Peto Mage’, seorang Minangkabau setengah Aceh yang memiliki gudang agak kedalam dari muara Batang Masang. Christine Dobbin menulis sebagai berikut;
Ketika pedagang swasta Inggris memasuki mulai perairan ini,daerah pasaman juga bisa memasok mereka dengan lada dan ini berlanjut sampai akhir abat delapan belas, ketika tempat ini juga menjadi daerah pemasok beras bagi daerah kekuasan Inggris lebih jauh di pantai. Pasaman juga menyediakan jalan keluar bagi eksport emas dari Rao, yaitu lembah langsung disebelah utara Alahan Panjang, yang merupakan daerah pengeksport emas sejak dahulu kala. Perdagangan Inggris dengan daerah Pasaman semakin berkembang sehingga pada tahun 1766 Belanda juga mengibarkan benderanya disana, tapi mereka hanya bisa bertahan sampai tahun 1772. Sesudah itu pelabuhan-pelabuhan berkembang karena hubungannya dengan orang-orang Inggris, sedangkan para pedagang Aceh juga datang dan menetap di pantai antara Pasaman dan Sungai Masang. Daerah Pasaman dengan demikian berkembang menjadi bagian dari jaringan dagang pantai yang maju berdasarkan kebutuhan pedagang swasta Inggris .

Jika kita layangkan pandangan agak ketimur, tidak jauh dari pusat kota kecil Simpang Ampek, disanalah terletak daerah yang bernama Gunung Ophir. Dalam kosa kata bahasa Minangkabau, tidak terdapat kata ”Ophir”. Dalam satu literatur disebutkan bahwa kata Ophir berasal dari kosa kata bahasa Portugis. Apa yang membuat orang Portugis tertarik pada daerah perbukitan tersebut, sehingga mereka menamainya dengan Gunung Ophir. Tapi kita tidak akan membahas hal ini.

Dikawasan Gunung Ophir inilah sebelum Indonesia merdeka, salah seorang pengusaha Belanda membangun perkebunan kelapa sawit dan saat itulah pertama kali tumbuhan asing yang bernama sawit menyentuh Pasaman. Setelah terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda berdasarkan UU No. 56 Tahun 1958, perkebunan ini menjadi milik PTPN VI .

Pembangunan perkebunan Pola Inti-Plasma untuk pertama kali di Kabupaten Pasaman dilakukan di areal perkebunan PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara) VI di Ophir pada tahun 1981. PTPN VI mengelola 10.000 Ha lahan diatas tanah bekas erfpach di kawasan Gunung Ophir. Lahan tersebut di kelola dengan pola 50 % untuk perkebunan inti dan 50% untuk perkebunan plasma. PTPN IV membagikan 2 Ha perkebunan sawit beserta dengan 0,2 Ha lahan perumahan kepada setiap petani peserta plasma.

Pada tanggal 27 September 1989 diadakanlah pertemuan antara Bupati Kab. Pasaman (Radjudin Nuh, SH) dengan seluruh ninik mamak dan tokoh masyarakat Pasaman di Gedung Tsanawiyah Silaping untuk membicarakan pengembangan perkebunan di Pasaman. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Pembantu Bupati Wilayah Pasaman Barat, Ketua BAPPEDA Pasaman, Kepala Dinas Perkebunan Pasaman (IrRusli Ersy), Kepala BPN Kantor Pasaman (Drs. Syafrin Sirin), Kabag Perekonomian (Anasrul BA), Wakil Pemda Sumbar beserta dengan Muspika masing-masing kecamatan.

Pada pertemuan tersebut, Bupati Pasaman menyampaikan bahwa tujuan utama dibukanya perkebunan di Pasaman adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat. Jangan sampai kehadiran Investor perkebunan justru memiskinkan masyarakat setempat, sehingga masyarakat harus diikutsertakan dalam bentuk Plasma.

Pada pertemuan tersebut, seluruh peserta menyambut baik maksud pemerintah untuk mengundang investor perkebunan. Peserta juga melahirkan kesepakatan yaitu 1) Peserta sepakat untuk menerima investor perkebunan, 2) tanah-tanah masyarakat yang akan menjadi perkebunan tidak digusur begitu saja, tetapi di tata dan dikelompokkan, 3) ninik mamak dan cucu kemenakan diikutsertakan dalam pengembangan perkebunan dengan pola plasma, 4) tanah-tanah masyarakat yang dipakai untuk pembuatan jalan-jalan ke perkebunan tidak akan di ganti rugi kecuali diatas tanah tersebut terdapat tanaman, 5) prosesi penyerahan tanah-tanah ulayat dilaksanakan dengan cara terbuka dan 6) jumlah uang ”siliah jariah” adalah Rp. 50.000,- per Ha. Pada tahun 1992, pertemuan yang sama juga dilaksanakan di Aula PTPN IV Ophir. Gubernur Sumbar (Hasan Basri Durin) mensosialisasikan pembukaan perkebunan di Pasaman dengan harapan perusaaan-perusahan perkebunan dapat membangun membangun kemitraan dengan masyarakat setempat seperti yang dilakukan oleh PTPN VI .
Pertemuan-pertemuan ini mengawali pembukaan perkebunan sawit swasta di Kabupaten Pasaman. Sejak itu Kabupaten Pasaman lebih dikenal karena produksi kelapa sawitnya, yang merupakan komoditas primadona subsektor perkebunan. Tanaman ini tersebar di 6 kecamatan, antara lain kecamatan Sungai Beremas, Lembah Melintang, Gunung Tuleh, Kinali, Ranah Bantahan, dan Pasaman. Di beberapa wilyah di kecamatan Bonjol dan Rao Mapat Tunggul (dua kecamatan sebelum dimekarkan menjadi kecamatan III Nagari dan Mapat Tunggul), beberapa waktu lalu juga mulai diusahakan untuk penanaman komoditas unggulan ini. Pada tahun 1999, produksi kelapa sawit di Kabupaten Pasaman tercatat 566.957 ton. Jumlah tersebut dipanen dari areal seluas 63.249 hektar. Salah satu kecamatannya yaitu Pasaman, menjadi wilayah penghasil utamanya dengan menyumbang 65 persen dari total produksi. Kawasan Simpang Ampat yang terdapat di kecamatan ini, bahkan dikenal sebagai pusat perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman .
Namun demikian, kehadiran investor perkebunan di Pasaman juga diikuti dengan timbulnya masalah-masalah dengan masyarakat. Pada hari Selasa 8 Mei 2001, wakil Bupati Pasaman menyatakan hal tersebut.
Menurut Wakil Bupati Pasaman, Benny Utama, di daerahnya terdapat 21 investor besar perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, rata-rata investor tersebut bermasalah sejak belasan tahun lalu. Masalahnya selama ini bagai lingkaran setan yang sulit diselesaikan. "Permasalahan investor itu terutama soal tidak duduknya pembagian uang siliah jariah (ganti rugi) dan janji pembuatan lahan plasma untuk masyarakat," katanya. Perusahaan perkebunan sawit yang dinilai bermasalah antara lain PT AMP seluas 1.950 ha, PT TSJ 800 hektar, PT ASM 500 ha, PT Puska 550 ha, PT Grasindo 2.800 ha, PT AW 3.899 ha, PT PM 2.104 ha, dan PT PMJ 3.118 ha, bahkan juga PT Perkebunan Nusantara 6 .
Selain itu, sebagai daerah yang memiliki perkebunan besar, tentunya tingkat kesejahteraan penduduk setempat akan meningkat, namun demikian tingkat kesejahteraan berbanding terbalik dengan tingkat perkembangan perkebunan. Kompas menulis bahwa berdasarkan data tahun 2000, di daerah seluas 7.835,40 kilometer persegi dan terluas di Sumbar (Pasaman) yang berpenduduk 504.530 jiwa ini terdapat 23.885 kepala keluarga atau 92.033 jiwa (10.034 di antaranya anak balita) yang hidup dalam kemiskinan dan rawan pangan. Tahun 2000 (Juli 2000) terdapat 778 balita mengalami gizi buruk dan KEP, 159 anak di antaranya kategori berat dan sisanya sedang. Bila dimasukkan balita yang mengalami KEP kategori ringan, angkanya semakin besar. Jumlah ini berkurang dibanding tahun 1999, di mana angka penderita gizi buruk (kategori berat dan sedang) mencapai 2.003 anak balita .

d. Kasus PT. PHP

Simpang Ampek Kadai Sabalah, Sasimpang Jalan ka Kinali, Buah Labek dahannyo Lamah, Masak Ranun Tagantuang Tinggi, Mudiak Padati Rang Andaleh, Tiok Kelok Bapandakian,
Nan Den Sangko Buah Ka Lareh, Kiro Tampuaknyo Bapatian, Antah Ka Jo Apo Kadijuluak Pinggalan Lai Sayuik Pulo, Kok Ranggang Buah Dari Tampuak, Balungguak Karuang Manantinyo .


Pada tanggal 28 April 2000, panas terik matahari jatuh di Simpang Empat Pasaman Barat. Sekelompok massa sedang melakukan negosiasi dengan aparat Polsek Pasaman. Masyarakat meminta Polsek Pasaman untuk membebaskan beberapa anggota masyarakat yang saat itu ditahan di ruang tahanan Polsek tersebut. Masyarakat meminta aparat membebaskan 1) Firdaus, 2) Iwan, 3) Pingai, 3) Acong, 4) Sisyam, 5) Ijen dan 6) Ucok. Suasana sangat tegang, masyarakat tetap bertahan dengan tuntutan agar anggotanya dibebaskan, sementara aparat Kepolisian Polsek Pasaman tetap bertahan untuk menahan ke enam masyarakat tersebut.

Tepat ketika matahari semakin meninggi, sebongkah batu melayang dan memecahkan kaca kantor Polsek Pasaman. Seperti sebuah perintah, seperti air bah masyarakat kemudian maju kedepan, memasuki kantor Polsek dan membebaskan anggota masyarakat yang ditahan dan membawa mereka pulang ke Nagari Kapar.

Sesampainya di Polsek Simpang Empat Pasaman, utusan masyarakat Kapar bertanya ke petugas jaga, apakah ada saudara kami yang diambil dari lahan, lalu petugas menjawab “ada”, “orang yang ditahan ini titipan Bapak Bahar A dan Waka Polres dan utusan yang empat orang tersebut memohon agar orang ini dilepaskan, karena kesalahannya tidak jelas dan tidak ada surat penahanan. Kembali petugas tersebut menjawab “tidak bisa”, karena Waka Polres yang menitipkan, sedangkan Waka Polres sudah pulang ke Lb. Sikaping yang berjarak ± 90 km. Lalu utusan masyarakat tersebut minta sekali lagi supaya saudaranya dilepaskan, sambil berkata, “kalau tidak dikeluarkan nanti akan datang massa yang lebih banyak”, lalu petugas tersebut hanya berkata “tidak bisa” . Disaat negosiasi itu sedang berlangsung, massa yang berasal dari Nagari Kapar, datang secara spontan dan langsung menuju sel tahanan. Mereka membuka kunci tahanan dan akhirnya semua tahanan yang ada ikut lari keluar. Saat peristiwa tersebut berlangsung, terjadi kegaduhan dan tiba-tiba kaca-kaca Polsek Pasaman pecah. Lalu aparat melepaskan peluru karet dan peluru tajam keudara. Akibat dari tembakan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polsek Pasaman tersebut, ada beberapa masyarakat yang terkena peluru karet. Sering dengan semakin gencarnya aparat Kepolisian melepaskan tembakan menyebabkan masyarakat bubar dan kembali ke rumah masing-masing .


Tapi masalah tidak berhenti begitu saja, tindakan masyarakat yang membebaskan anggotanya dari ruang tahanan Polsek pasaman tersebut menimbulkan reaksi yang keras dari aparat kepolisian.
Besoknya tanggal 29 April 2000, Nagari Kapar didatang satu truk petugas polisi dan satu Toyota Kijang serta beberapa motor dengan senjata lengkap. Aparat melakukan sweping dan menyatakan mau perang dengan masyarakata Nagari Kapar. Berbagai ancaman dikeluarkan oleh aparat sambil melepaskan tembakan ke udara. Bebarapa masyarakat nagari Kapar diambil ditangkap serta dipukul oleh Polisi pada saat mereka duduk di warung dan saat bekerja. Masyarakat nagari Kapar yang ditangkap tersebut lalu dibawa ke Polsek Pasaman, di Simpang Empat. Sebagian masyarakat Nagari Kapar yang menjadi target penangkapan Polisi pada saat peristiwa tersebut tidak berada ditempat. Kemudian aparat Kepolisian melakukan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Tindakan sweping dan penyisiran yang dilakukan oleh aparat Kepolisian tersebut menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi penduduk nagari Kapar. Sebagian besar anak nagari yang berjenis kelamin laki-laki, melarikan diri dari nagari Kapar, kehutan-hutan sekeliling nagari, kekebun-kebun yang jauh dipelosok perkampungan, meninggalkan anak dan istrinya. Setelah keadaan tidak memungkinkan lagi, sebagian anak nagari melarikan diri keluar Propinsi, terutama ke Jakarta.

Tanggal 30-4-2000 jam 9.00 WIB, polisi bersama dengan kaki tangan Sdr. Bahar A datang lagi ke nagari Kapar untuk mencari penduduk laki-laki yang masih tersisa. Pada saat itu bertemu dengan Sdr. Bujang (zulkifli) yang sedang membersihkan motor dirumahnya. Bujang kemudian ditangkap dan dibawa ke Polsek Pasaman. Sepanjang perjalanan mulai dari nagari Kapar, Sdr Bujang dipukuli. 5 hari setelah itu, ditangkap lagi anak nagari Kapar yang berada di Air gadang Pasaman yaitu anak bapak Asik (Alisman) dengan sangkaan melarikan diri. Padahal faktanya, dia sedang berada di rumah ibu tirinya.

Gambar 3 Aksi Kasus PT. PHP

Melihat kondisi ini, pada tanggal 17 Mei 2000, sebagian besar ibu-ibu yang sudah tidak tahan lagi dengan intimidasi aparat, kemudian mendatangi DPRD Pasaman, berdemonstrasi. Mereka mendesak anggota DPRD Pasaman untuk menyelesaikan persolaan Kapar. Mengusahakan pemulihan keamanan dan mendesak Dewan untuk menyampaikan kondisi terakhir nagari Kapar kepada Kapolres Pasaman. Para ibu-ibu ini dipimpin oleh, Ibu Mai, Ibu Inar dan One.

Masyarakat nagari Kapar yang ditahan oleh polisi baru dibebaskan setelah membayar uang jaminan Rp. 500.000 per orang dan segel 2 buah. Keluarga Bujang, karena sudah tertekan, kemudian memenuhi semua persyaratan agar Bujang segera bebas dari tahanan Polisi. Pada awal bulan Juni 2000 Bahar A dengan kaki tangannya beserta Waka Polres Pasaman menangkap Yurisman di daerah Rao dan ditahan di sel Polres. Selama ditahanan Polres, Yurisman dipukuli sampai kemudian dirawat di Rumah Sakit Umum Lb. Sikaping .

Apakah yang terjadi sehingga menyebabkan masyarakat ditangkap aparat Polisi Polsek Pasaman, masyarakat membebaskan secara paksa anggotanya yang di tahan di Polsek Pasaman dan berakibat terjadinya sweeping aparat Kepolisian di nagari Kapar yang mengakibatkan semua laki-laki untuk sementara waktu meninggalkan Nagari Kapar untuk menghindari penangkapan. Untuk itu, marilah kita lihat pokok masalahnya di bawah ini.


d.1 Konflik Tanah Ulayat di Nagari Kapar

Pada tanggal 26 Juli 1992, Perseroan Terbatas Permata Hijau Pasaman (PT. PHP) mendapat surat rekomendasi pencadangan lahan perkebunan kelapa sawit dari Bupati Pasaman (taufik Marta). Rekomendasi Bupati Pasaman tersebut dituangkan dalam SK Bupati No. 525.25/1575/Perek-1992 tentang Rekomendasi Pencadangan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Pt. Permata Hijau Pasaman. Dalam SK ini memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Berdasarkan pernyataan ninik mamak / pemuka adat pemilik dan penguasa ulayat wilayah kenagarian Sasak dan sikilang wilayah kenagarian Sunagi Aur Kec. Lembah Malintang tanggal 26 dan 16 Juli 1992, maka pada prinsipnya kami dapat menyetujui pencadangan lahan seluas ± 12.000 Ha untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. Permata Hijau Pasaman dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Sepanjang yang dicadangkan adalah kawasan hutan, maka PT. PHP harus mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan RI.
b. Berhubung karena status tanah yang dicadangkan tersebut adalah tanah ulayat nagari, maka diharapkan kepada PT. PHP untuk menyelesaikan dengan ninik mamak/pemangku adat setempat atas dasar musyawarah dan mufakat.
c. Luas lahan yang efektif akan ditentuakan setelah ada pengukuran oleh BPN.
d. PT. PHP diwajibkan menjadi bapak angkat dalam pengelolaan kebun anak kemenakan ninik mamak setempat (kebun anak angkat setempat) yang luasnya minimal 10 % dari luas kebun bapak angkat.
2. Apabila PT. PHP tidak dapat merealisasikan kegiatan administrasi atau kegiatan fisik lapangan dalam tempo satu tahun, maka dengan sendirinya rekomendasi ini batal.

Sebagaimana yang diuraikan diatas, Rekomendasi Bupati Pasaman tersebut dituangkan dalam SK Bupati No. 525.25/1575/Perek-1992 tentang Rekomendasi Pencadangan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Pt. Permata Hijau Pasaman diterbitkan setelah adanya penyerahan hak dari Ninik Mamak nagari Sasak kepada Pemerintah untuk di berikan kepada PT. PHP. Surat penyerahan ninik mamak Sasak adalah sebagai berikut:

Gambar 4 Surat Rekomendasi Pencadangan Lahan

Surat rekomendasi pencadangan lahan dari Bupati Pasaman ini ditindaklanjuti dengan SK Gubernur Sumbar No. 525.26/1477/Prod.92 Tentang Persetujuan Prinsip Pencadangan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa sawit di Kab. Pasaman. Dalam surat ini dinyatakan bahwa Gubernur Sumatera Barat (Hasan Basri Durin) menyetujui pencadangan lahan seluas 12. 000 Ha di Kenagarian Sasak, Kec. Pasaman Kab. Pasaman dengan syarat-syarat diantaranya pada angka 3 SK Gubernur ini dinyatakan;
”Apabila areal tersebut merupakan tanah ulayat/suku maka PT. PHP harus melakukan pembebasan tanah melalui Pemda TK II Pasaman”.

Pada angka 5 disebutkan
” PT. PHP diwajibkan menjadi Bapak Angkat dan menampung hasil-hasil petani kelapa sawit disekitarnya”.

Jika dibandingkan klusul angka 1 huruf a SK Bupati pasaman No. 525.25/1575/Perek-1992 dengan angka 3 SK Gubernur Sumbar No. 525.26/1477/Prod.92 diatas tergambar dengan jelas perbedaan pandangan terhadap status tanah yang dicadangkan untuk PT. PHP tersebut. SK Bupati Pasaman dengan tegas menyebutkan bahwa lahan yang dicadangkan tersebut adalah tanah ulayat sehingga untuk penggunaannya diperlukan musyawarah dengan ninik mamak. Sk Bupati pasaman ini secara tegas mengakui lahan tersebut termasuk ulayat nagari. Dalam lingkup ulayat nagari, areal yang dicadangkan tersebut dapat berupa hutan yang mungkin saja termasuk dalam kawasan hutan yang ditunjuk oleh Departemen Kehutanan. Namun status kawasan hutan tersebut tidak memberikan peluang PT. PHP untuk mengabaikan ninik mamak pemegang ulayat.

Berbeda halnya dengan SK Gubernur, Gubernur mempersempit ulayat menjadi ulayat suku sehingga mengakibatkan lahan-lahan diluar penguasaan suku (dalam penguasaan nagari/ulayat nagari) tidak diakui sebagai ulayat. Padahal secara adat di kawasan ini, tidak semua tanah-tanah terbagi habis kedalam penguasaan suku (berbingkah adat). Dampaknya tentu saja lingkup negosiasi hanya pada tingkat penguasa suku, untuk lahan ulayat suku dan untuk itu Gubernur memberikan opsi ganti rugi tanah terhadap lahan-lahan suku. Sementara untuk lahan lain diluar ulayat suku, SK ini secara tidak langsung, tidak mengakui hak ulayat nagari.

Pada tanggal 22 November 1992, Menteri Pertanian RI mengeluarkan persetujuan prinsip usaha perkebunan Kelapa Sawit untuk PT. PHP di Kec. Pasaman Kab. Pasaman, Sumatera Barat seluas 9.000 ha diatas areal yang dicadangkan oleh Gubernur Sumbar seluas 1.2000 Ha diatas .

Berdasarkan persetujuan prinsip yang diberikan oleh Gubernur Sumbar kepada PT. PHP melalui SK Gubernur Sumbar No. 525.26/213/Perek-95 tanggal 4 April 1995, Kepala Kantor Pertanahan Pasaman kemudian menerbitkan SK No. 402.1144/BPN-1995 Tentang Pemberian Ijin Lokasi Untuk Keperluan PT. PHP. SK ijin lokasi ini diberikan untuk lahan seluas 3.850 Ha yang lokasinya terletak di Kec. Pasaman Kab. Pasaman. SK Ijin Lokasi ini menentukan bahwa
1. Perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan melalui pelepasan hak yang dilaksanakan dihadapan pejabat yang berwenang setempat dengan pemberian ganti kerugian yang bentuk dan besarnya ditentukan melalui musyawarah.
2. Pembayaran ganti kerugian tanah serta tanaman tumbuh dan atau bangunan yang ada diatasnya tidak dibenarkan melalui perantara dalam bentuk atau nama apapun juga, melainkan harus dilakukan langsung kepada yang berhak.
3. Perolehan tanah harus dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal ditetapkan SK ini dan dapat diperpanjang selam 12 bulan.
4. dan seterusnya...

Pada tahun 1998 BPN Kab. Pasaman kembali mengeluarkan SK No. 402.103/BPN-1998 Tentang pemberian Ijin Lokasi Untuk PT. PHP selauas 1.400 ha lahan inti dan 2.118 Ha lahan plasma yang terletak di Desa Maligi Kec. Pasaman dan Sikilang Kec. Lembah Malintang. Salah satu bahan pertimbangan di keluarkannya Ijin Lokasi ini adalah Surat Pernyataan Pelepasan Hak/Penyerahan Hak Ninik Mamak Desa Maligi Kenagarian Sasak tanggal 14 September 1997 yang diketahui oleh Ketua Kerapatan Adat Sasak. Ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan oleh PT. PHP dalam proses pembebasan lahan tersebut sama dengan keputusan ijin lokasi diatas.

Gambar 5 Peta Ijin Lokasi PT. PHP

Bagaimana dengan ulayat Nagari Kapar sendiri ?. Ketika kebijakan perkebunan menyentuh Kab. Pasaman diawal tahun 1980-an, Nagari Kapar sebenarnya dicadangkan untuk pencetakan sawah baru dengan irigasi Batang Tongar. Tetapi karena proyek tersebut gagal maka mulailah perkebunan besar merambah Nagari Kapar. Untuk itu pada tanggal 23 Januari 1980 dibuatlah satu surat keputusan bersama yang ditandatangani oleh beberapa ninik mamak Nagari Kapar . Keputusan tersebut berisi pernyataan areal yang menjadi ulayat Nagari kapar. Didalam surat pernyataan tersebut dinyatakan;
1) Bahwa yang dimaksud dengan tanah ulayat, adalah tanah ulayat Luak Saparampek Nagari Kapar dengan batas-batas sebagai berikut:
a. Dengan Nagari Lingkuang Aur : Mulai dari Tarok Tongga, Padang Durian Hijau terus ke Bintungan Sarang alang di Talao Titisan Kiduak, terus ke Rantiang Tibarau sampai ke Lubuak Languang.
b. Dengan Nagari Koto Baru : Mulai dari tarok Tongga, terus ke Anak air Pabatuan, Sailiran Batang Sungai Talang sampai ke Tikalak Basi.
c. Dengan Nagari Sasak : Mulai dari Tikalak Basi, terus ke Tunggua Hitam Pamatang Sariak, sampai ke Labuang Sigoro-Goro/Pulau Kalimonyo.
d. Dengan Batang Pasaman : Mulai dari Lubuak Languang, Sapantakan Galah (sejauh lontaran galah) dari Batang Pasaman, seiliran Batang Pasaman terus ke Labuang Sigoro-Goro/Pulau Kalimonyo.
2) Bahwa tanah ulayat tersebut dapat digunakan untuk keperluan pembangunan, baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan nagari Kapar sendiri, berupa:
a. Proyek landasan udara yang terletak di kampuang Laban, Jorong Kapar Utara
b. Proyek percetakan sawah baru di Baramban Sasak, Pematang Jambu
c. Mulai perbatasan Lubuak Languang, seiliran Batang Pasaman menuju Rantau Panjang akan digunakan untuk cadangan lahan perkebunan tanaman tua dan tanaman pertanian lainnya.
3) Bahwa setiap badan hukum/ badan usaha lain yang ingin mendapatkan lahan tersebut mesti seizin pucuk adat bersama ninik mamak yang menandatangani surat ini dengan persetujuan Daulat Parik Batu beserta Hakim Parit Batu, Pasaman.
4) Bahwa kebulatan ini dibuat adalah demi kepentingan serta untuk mengangkat taraf hidup cucu kemenakan yang berekonomi lemah.

Jika diperhatikan, materi isi dari surat diatas, ninik mamak Nagari Kapar juga membuka peluang untuk masuknya investor yang akan menanamkan modalnya di Nagari Kapar. Pada poin tiga surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa setiap badan hukum/badan usaha lain yang ingin mendapatkan lahan tersebut mesti seizin pucuk adat bersama ninik mamak yang menandatangani surat ini dengan persetujuan Daulat Parik Batu beserta Hakim Parit Batu, Pasaman. Ini artinya adalah undangan untuk para infestor membangun perkebunan di wilayah nagari Kapar, walaupun pada prinsipnya, nagari Kapar juga mendukung pemda untuk membangun sawah baru diatas tanah ulayatnya.

Pada tanggal 3 April 1981 diadakanlah rapat ninik mamak dan pemuka masyarakat Nagari Kapar yang akan membicarakan soal kehadiran masyarakat pendatang ke wilayah Nagari Kapar. Pada rapat tersebut kemudian diputuskan bahwa:
1. Penerimaan pendatang baru dari daerah Jambak/Padang Sari disetujui.
2. Tempat/lokasi perkampungan yang akan ditempati oleh pendatang tersebut adalah di Lajur Pematang Lubuk Gadang dan pangkal pematang ke Tandikat.
3. Luas tanah yang akan diberikan kepada masyarakat pendatang berupa satu persil untuk perumahan ditetapkan seluas 0,25 Ha, dan untuk persawahan seluas 1,75 Ha. Jadi luas maksimum yang diberikan adalah 2 Ha setiap KK.
4. Lokasi tanah persawahan yang diberikan kepada para pendatang terletak di perbanjaran masyarakat Lubuak Gadang sampai ke Batas Batang Saman.
5. Tanah pesawahan yang sudah dimiliki oleh anak kemenakan dalam Nagari Kapar, tidak akan diganggu gugat. Sepanjang anak kemenakan tersebut dapat menunjukkan tanda bukti yang syah bahwa areal tersebut adalah miliknya.
6. Kepada para pendatang diminta ganti rugi sebanyak Rp. 75.000,- per Ha persil tanah dengan tiga kali tahap pembayaran.
a. Tahap pertama, setelah memenuhi syarat pemindahan dan setelah menandatangani surat perjanjian/pernyataan yang disediakan untuk itu oleh pemerintahan Nagari Kapar, dengan pembayaran sebanyak 35 % dari keseluruhan kewajiban.
b. Tahap kedua, sebesar 35 %. Pembayaran dilakukan setelah panen pertama pada areal yang sudah diberikan.
c. Tahap ketiga, sebanyak 30 %, dibayar setelah empat bulan pembayaran tahap kedua .

Dalam rapat ini juga ditunjuk orang yang akan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan penerimaan anak kemenakan baru dari Jambak. Maka ditugaskanlah Kerapatan Adat Nagari Kapar untuk mengurus segala sesuatunya. Ganti rugi tanah tempat pendatang baru ditempatkan kemudian menimbulkan gejolak ditengah-tengah anak nagari Kapar, karena tidak adanya transparansi & yang menikmati ganti rugi tersebut hanyalah sekelompok ninik mamak saja .

Tapi jika dilihat dari beberapa surat yang ada keresahan masyarakat tidak hanya masalah pengelolaan ganti rugi oleh ninik mamak tetapi lebih jauh adalah masalah kewenangan ninik mamak. Pada tanggal 12 September 1989, sekelompok pemangku adat dan tokoh masyarakat Kapar membuat surat kepada Camat Kec. Pasaman. Salah satu klausul pada surat tersebut menyebutkan bahwa tanah ulayat adat tidak bisa di monopoli oleh sekelompok ninik mamak saja, karena dalam peraturan adat antara ninik mamak hanyalah berbingkah adat saja tidak berbingkah tanah (kewenangan pengelolaan-penulis). Otomatis permohonan sertifikat tanah di Padang Panjang dan sekitarnya menyalahi ketentuan adat.

Surat yang bernada sama juga dibuat oleh masyarakat kepada Camat Kec. Pasaman, Kepala BPN Pasaman dan Bupati Kab. Pasaman. Surat bertanggal 22 Februari 1993 dengan judul ”Gugatan Pengukuran Dan Penjualan Tanah Kosong Yang Belum Digarap” ini pada intinya menjelaskan tindakan ninik mamak menguasai untuk kepentingan pribadi tanah-tanah ulayat nagari Kapar untuk kepentingan pribadi dan untuk di jual tidak sesuai dengan ketentuan adat. Akibatnya pengukuran yang dilakukan oleh BPN terhadap tanah tersebut dihentikan oleh kurang lebih seribu orang massa yang terdiri dari tokoh masyarakat, alim ulama dan ninik mamak yang tidak ikut dengan kelompok ini.

Kembali kepada areal PT. PHP, berdasarkan perijinan diatas PT. PHP mulai membangun perkebunan di Sikilang dan Sasak. Tapi dalam perjalanannya kemudian diketahui ulayat yang diserahkan oleh Nagari Sasak untuk areal perkebunan PT. PHP juga termasuk ulayat nagari Kapar, seperti yang diungkapkan oleh Wilmar Group dibawah ini :
” Sampai hari ini batas antara ulayat Nagari sasak dengan Nagari Kapar itu tidak jelas. Pada awalnya PT. PHP membangun berdasarkan penyerahan ulayat Nagari Sasak. Perjanjian dengan dengan Sa 714 Ha Plasma sesuai dengan kapasitas KKPA. Dalam perjalanan di ketahui adanya ulayat Nagari Kapar yang diserahkan oleh Nagari Sasak. Tahun 1997 Kapar menyerahkan lagi, sementara itu batas tanah ulayat Nagari Kapar belum jelas dengan perjanjian 50 % untuk Inti dan 50 % untuk plasma. Menurut perusahaan perjanjian ini tidak berdiri sendiri yaitu pembangunan perkebunan berdasarkan ploting perkebunan. Pembangunan perkebunan inti tetap berjalan, sedangkan pembangunan perkebunan dilahan plasma terhambat karena ada konflik tanah. Saat ini masyarakat menuntut bahwa seluas tanah yang tertanam saat ini harus dibagi dua sesuai dengan perjanjian. Padahal tanah lahan tersebut berdasarkan perencanaan pembangunan kebun adalah lahan inti .

Pada hari Kamis tanggal 6 Februari 1997, lahir sebuah surat yang berjudul ” Surat Kesepakatan Ninik Mamak/Penghulu Adat Pemegang Tanah Ulayat Dalam Wilayah Desa Kapar Utara Dan Kapar Selatan Kenagarian Kapar Kec. Pasaman Kab. Dati II Pasaman Tentang Penyerahan Tanah Ulayat Dalam Wilayah Desa Kapar Utara Dan Kapar Selatan Kec. Pasaman Kab. Dati II Pasaman Untuk Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit Oleh PT. Permata Hijau Pasaman”. Surat ini menempatkan Ninik Mamak sebagai Pihak Pertama dan Taufik Marta, Bupati Kepala Daerah Dati II Pasaman sebagai Pihak Kedua. Substansi yang dimuat oleh surat perjanjian ini adalah:
1. Pihak Pertama menyambut baik rencana PT. PHP untuk membuka dan mengusahakan perkebunan kelapa sawit di wilayah Desa Kapar Utara Dan Kapar Selatan Kec. Pasaman Kab. Dati II Pasaman.
2. pihak pertama menyediakan dan menyerahkan tanah ulayat dalam wilayah desa Kapar Utara dan Kapar Selatan yang dimiliki, dikuasai dan dibawah penguasaannya menurut adat salingka nagari Kapar kepada pihak kedua guana keperluan usaha perkebunan kelapa sawit seluas ± 1.600 Ha yang batasnya :
a. Sebelah utara berbatas dengan nagari Lingkuang Aur
b. Sebelah selatan berbatas dengan nagari Sasak
c. Sebelah barat berbatas dengan Batang Pasaman
d. Sebelah timur berbatas dengan ulayat nagari Kapar
3. Penyerahan tanah ulayat dari pihak pertama kepada pihak kedua adalah dengan memenuhi ketentuan ”adat di isi, limbago di tuang” oleh PT. PHP kepada Pihak Pertama dengan perbandingan 50 % lahan untuk areal inti dan 50% lahan untuk areal plasma. Pengerjaan kebun inti harus bersamaan dengan kebun plasma.

Gambar 6 Surat penyerahan ulayat

Surat ini ditandatangani oleh Syahrun Gampo Alam (Pucuk Adat Nagari Kapar) beserta dengan beberapa ninik mamak lain yang menyatakan diri sebagai Mamak Kepala Waris sebagai Pihak Pertama dan Bupati Pasaman sebagai Pihak Kedua dengan saksi-saksi kepala desa Kapar Utara, kepala Desa kapar Selatan, Camat Pasaman dan Pembatu Bupati Pasaman.

Surat penyerahan ulayat ini diikuti dengan surat pernyataan tanggal yang sama, yang pada intinya menyatakan bahwa ninik mamak bertanggung jawab untuk menyelesaiakan masalah-masalah dan gugatan yang timbul di kemudian hari karena penyerahan ulayat ini.

Surat Pernyataan Pertanggungjawaban Ninik Mamak

Gambar 7 Surat Pernyataan Pertanggungjawaban

Penyerahan tanah ini juga mendapat reaksi dari masyarakat Kapar. Dalam sebuah surat tanggal 12 Februari 1997 yang ditujukan kepada Camat Pasaman yang berjudul ” Penyerahan Tanah Ulayat Nagari Kapar” perwakilan masyarakat menyatakan sebagai berikut;
1. bahwa kami masyarakat kapar pada hari Jum,at tanggal 7 Februari 1997 telah dihebohkan dengan turunnya pembagian uang ”Siliah Jariah” dari tanah ulayat kami di Kanagarian Kapar.
2. bahwa dalam hal tersebut, kami sangat merasa heran karena samapi saat ini kami tidak sedikitpun mengetahui dari awal terhadap penyerahan tanah ulayat kami sebagaimana lazimnya menurut aturan yang berlaku;
a. Kapan diadakannya musyawarah/mufakat para ninik mamak/alim ulama/pemuka masyarakat dengan investor yang akan menerima penyerahan tanah ulayat kami.
b. Berapa luas serta batas-batas tanah ulayat yang diserahkan dan seandainya didalamnya terkena tanah olahan masyarakat atau tanah olahan kelompok tani, bagimana cara penyelesaiannya dan siapa investornya.
c. Berapa jumlah ”siliah jariah” per hektarnya.
d. Berapa untuk plasma (masyarakat) dan kebun inti.
e. Untuk apa uang ”siliah jariah” dipergunakan
3. Menurut hukum adat tanah ulayat bukanlah kepunyaan oknum akan tetapi adalah kepunyaan atau hak masyarakat dalam kenagarian tersebut. Jadi bila seandainya telah terjadi penyerahan terhadap tanah ulayat kami, kemungkinan telah dilakukan oleh beberapa oknum ninik mamak yang telah berada dalam kenagarian kami tidak secara terbuka kepada masyarakat, hal mana sekarang tidak masanya lagi dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.
4. Berdasarkan hal yang kami kemukakan diatas, mohon penyelidikan dan penyelesaian dari bapak secepatnya terutama mengenai poin dua diatas semoga kegelisahan dari masyarakat tidak meledak.

Gambar 8 Surat Penyerahan Tanah Ulayat Nagari Kapar

Berdasarkan data-data diberikan oleh masyarakat kepada LBH Padang, daftar tanah ulayat yang dilepaskan adalah sebagai berikut :

1. Sebelum tahun 1990 ± 60 Ha dijual oleh oknum ninik mamak kepada Sdr. H. Zainir (pengusaha dari Padang).
2. Pada tahun 1991, ± 240 Ha tanah ulayat yang telah diolah oleh kelompok Tani RTTSK, penduduk asli Kapar yang berasal dari 3 Desa dijual oleh oknum Ninik Mamak kepada PT. Permata Hijau Pasaman (PHP).
3. Sebelum tahun 1994, oknum ninik mamak menjual ± 70 Ha tanah ulayat kepada Sdr. Jayus.
4. Pada tahun 1995 tanah ulayat adat Nagari Kapar diserahkan ninik mamak kepada PT. Permata Hijau Pasaman (PHP) seluas ± 2200 Ha.
5. Pada tahun 1995, oknum ninik mamak menjual lagi tanah ulayat Nagari Kapar kepada H. Sarmal, seluas ± 10 Ha.
6. Pada tahun 1996, kelompok tani Sidodadi yang dibentuk oleh oknum ninik mamak dengan didanai oleh Dt. Dawar, seorang pengusaha dan ninik mamak nagari Air Gadang, mengusai tanah ulayat nagari Kapar seluas ± 400 Ha
7. Pada tahun 1996, salah seorang anak nagari kapar yang bernama H. Buyung Norman, mengolah tanah ulayat nagari Kapar seluas ± 300 Ha.
8. Pada tahun 1997, ± 12 Ha tanah ulayat nagari Kapar, dijual oleh oknum ninik mamak kepada karyawan RS. Yarsi, Pasaman.
9. Sisa tanah ulayat nagari Kapar seluas ± 200, kemudian diolah secara bersama-sama oleh anak nagari Kapar.

Lahan 200 ha tersebut kemudian menjadi lahan sengeketa anta masyarakat dengan oknum ninik mamak tersebut, dalam kronologis kasus yang ditulis oleh LBH Padang disebutkan sebagai berikut :
Pada tahun 1999, masyarakat kenagarian Kapar mulai mengolah lahan sisa dari yang dijual oleh para ninik mamak (± 200 Ha). Kelompok ninik mamak melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat. Salah seorang petani korban bernama Boy Martin, dibacok ketika sedang menggarap. Pembacokan dilakukan oleh Buyuang Picak, salah seorang kaki tangan Bahar. A, yang menyebabkan luka robek di kepala bagian kiri bawah Boy Martin.

Selanjutnya sampai pada april tahun 2000, ketika masyarakat Kapar sedang menggarap lahan yang tersisa tersebut, tiba-tiba didatangi oleh ninik mamak (Bahar. A) dan kawan-kawan beserta aparat kepolisian Polsek Simpang Empat, dengan maksud mengintimidasi masyarakat agar jangan mengolah lahan sisa tersebut. Pada saat itu Polisi menangkap tujuh orang masyarakat yaitu 1) Firdaus, 2) Iwan, 3) Pingai, 4) Acong, 5) Sisyam, 6) Ijen dan 7) Ucok. Ketujuh orang tersebut kemudian dibawa dan ditahan dalam tahanan Polsek Simpang Empat (Pasaman).

Setelah masyarakat mengetahui adanya anak nagari Kapar yang ditahan oleh pihak Kepolisian, secara spontan masyarakat kenagarian Kapar berkumpul di pasar Kapar, membicarakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polsek Pasaman tanpa alasan yang jelas. Selanjutnya masyarakat sepakat untuk mengirimkan utusan ke Polsek Pasaman untuk mengkonfirmasi soal penangkapan ketujuh orang masyarakat Kapar tersebut.

Situasi ini kemudian berkembang menjadi insiden perusakan kantor Polsek Pasaman, penangkapan-penangkapan petani, praperadilan Polisi dan sebagainya. Dengan sangat baik LBH Padang mengungkap fakta kasus kapar dalam pembelaan salah seorang petani Kapar yang dipidana di Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping pada tahun 2002 lalu, sebagai berikut :
Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara yang sedang kita periksa pada saat ini dilatarbelakangi oleh peristiwa tanggal 28 April tahun 2000 yaitu demonstrasi yang dilakukan oleh lebih kurang 300 orang anak Nagari Kapar ke kantor Polsek Pasaman, karena adanya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat polsek Pasaman terhadap tujuh orang anak nagari Kapar yang sedang bekerja dan mengolah tanah ulayat mereka. Alasan polisi, penangkapan ini dilakukan karena tanah yang sedang diolah oleh beberapa anak nagari tersebut telah diperjualbelikan oleh oknum ninik mamak kepada pihak investor, padahal sesungguhnya proses jual beli tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari anak nagari Kapar. Menurut ketentuan hukum adat yang berlaku di Minangkabau, tanah ulayat tersebut tidak dapat diperjualbelikan, tapi hanya dapat dinikmati (diolah untuk mendapatkan hasil) oleh anak nagari yang dijadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi anak nagari.

Dengan dilatarbelakangi oleh tindakan penangkapan yang dilakukan tanpa alasan dan prosedur yang benar dari aparat kepolisian, maka anak nagari Kapar merasa terpanggil jiwanya untuk memperjuangkan nasib saudara–saudara mereka yang ditangkap oleh aparat kepolisian sektor Pasaman karena apa yang mereka lakukan itu bukanlah perbuatan yang dilarang oleh hukum adat tetapi merupakan hak anak nagari untuk mengolah tanah ulayatnya sendiri. Dengan semangat persaudaraan dan solidaritas sesama anak nagari yang diikat oleh tali persaudaraan secara geneologis-teritorial tentu anak nagari Kapar merasa bertanggung jawab atas keselamatan saudara–saudara mereka. Hal inilah yang mendorong masyarakat Kenagarian Kapar melakukan aksi spontanitas tanpa ada yang mengomandoi untuk menuntut dibebaskannya warga mereka dari tahanan Polsek Pasaman.

Bahwa ternyata lebih kurang satu tahun pasca aksi demonstrasi yang dilakukan oleh anak nagari Kapar yang mengantarkan terpidananya dua orang warga Kapar dan keadaan masyarakat telah tenang kembali, pada bulan Agustus 2001 terjadilah perkelahian antar pemuda di Kapar yang mengakibatkan terjadinya aksi pembakaran sebuah rumah warga Kapar.

Atas kejadian tersebut, aparat Kepolisian Sektor Pasaman melakukan penangkapan terhadap pelaku pembakaran rumah tanpa prosedur yang dibenarkan hukum terhadap Yulisman dan Fitrizal Rahmat –yang saat ini dihadapkan sebagai terdakwa atas tuduhan melanggar Pasal 170 Ayat (2) KUHP dan Pasal 160 KUHP. Namun, dengan tidak adanya bukti keterlibatan para terdakwa ini maka aparat kepolisian Sektor Pasaman menghubung–hubungkan peristiwa penangkapan ini dengan peristiwa aksi masyarakat Kapar ke Polsek Pasaman pada tanggal 28 April tahun 2000 lalu, dan menjadikan para terdakwa ini sebagai pelaku perusakan kantor polsek tersebut serta menyebut-nyebut keduanya sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) Polsek Pasaman. Padahal kedua terdakwa ini bukanlah termasuk DPO sebagaimana yang tertuang dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum NO.REG.PERKARA : PDM-06/LSKPG.1/7.00 atas Nama Terdakwa Alisman Cs. tanggal 18 Oktober 2000 (Surat Tuntutan terlampir). Jadi, penangkapan ini adalah merupakan suatu rekayasa antara oknum ninik mamak, investor dan aparat penegak hukum untuk mengkriminalkan para petani Kapar agar tidak berani merebut asetnya kembali yang telah dirampas selama in .

d.2. Masalah Plasma PT. PHP di Nagari Kapar

Ketika tim berkunjung kelapangan, pada saat yang sama areal perkebunan PT. PHP sedang diduduki oleh masyarakat yang menuntut pembagian plasma disamping sebagian besar masyarakat yang tergabung kedalam Kelompok Tani Tunas Mekar.

Berbeda dengan Kelompok Tani Tunas Mekar yang menuntut dikembalikannya tanah ulayat Kapar karena tidak adanya musyawarah yang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan adat mereka dalam pelepasan tanah tersebut kepada investor, kelompok yang menduduki lahan ini lebih karena keinginan untuk mendapatkan plasma berdasarkan pernajian penyerahan lahan yang menyebutkan bahwa 50 % dari luasan lahan yang diserahkan kepada PT. PHP adalah untuk lahan plasma yang akan dibagikan kepada masyarakat.

Dari keterangan masyarakat yang tergabung kedalam kelompok Tani Tunas Mekar, kelompok yang menduduki lahan PT. PHP terdapat juga anggota dari Koperasi Unit Desa (KUD) Kapar. KUD Kapar adalah KUD yang menjadi mitra PT. PHP dalam pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di nagari Kapar berdasarkan perjanjian kerjasama No. 029/PHP-DIR/PK-III/97 dan 03/KUD-KAPAR/III/1997 tanggal 15 maret 1997.

Ikut sertanya anggota KUD Kapar dalam kelompok yang menduduki lahan agak sedikit mengherankan, karena menurut perusahaan, hasil dari palsma sudah diberikan kepada KUD yang harusnya mendistribusikan kepada masyarakat.

” Tahun 1997 Kapar menyerahkan lagi, sementara itu batas tanah ulayat Nagari Kapar belum jelas dengan perjanjian 50 % untuk Inti dan 50 % untuk plasma. Menurut perusahaan perjanjian ini tidak berdiri sendiri yaitu pembangunan perkebunan berdasarkan ploting perkebunan. Pembangunan perkebunan inti tetap berjalan, sedangkan pembangunan perkebunan dilahan plasma terhambat karena ada konflik tanah. Saat ini masyarakat menuntut bahwa seluas tanah yang tertanam saat ini harus dibagi dua sesuai dengan perjanjian. Padahal tanah lahan tersebut berdasarkan perencanaan pembangunan kebun adalah lahan inti sementara lahan yang diperuntukkan untuk plasma masih konflik, sehingga kebun tidak dapat dibangun..........................

perusahaan telah membagikan hasil plasma kepada KUD, pembagian ini yang kisruh. KUD mempunyai kewajiban RAT (rapat tahunan anggota). Tugas dari KUD adalah wadah dari masyarakat peserta plasma. Yang menentukan siapa yang penerima plasma adalah ninik mamak. Masalahnya peserta plasma yang ditetapkan oleh ninik mamak tidaklah semua anak kemenakan yang dulu mengusai tanah. Misalnya mereka yang telah meninggalkan tanah itu. Selain itu tidak semua anak kemenakan yang akan menerima plasma itu. Apalagi ninik mamak tidak mempunyai kreteria siapa yang berhak mendapatkan plasma itu


Berdasarkan keterangan perusahaan, masyarakat yang menduduki lahan PT. PHP melakukan panen tandan sawit segar sebanyak lima truk per hari. Masalah ini telah didiskusikan dengan pemda. Perusahaan memberikan solusi, perusahaan akan membangunkan plasma diluar areal yang ada dan akan memberikan subsidi sebanyak Rp. 100 ribu per bulan selama setahun. Untuk masyarakat yang menduduki lahan dan melakukan panen TBS, perusahaan telah berkoordinasi dengan pihak keamanan dan saat ini menunggu ijin Bupati untuk penertiban. Tetapi pemda mencarikan lahan tersebut diluar areal yang ada. Lahan yang ada saat ini telah diplot menjadi lahan inti. Bupati Pasaman menyampaikan bahwa masalah plasma di PT.PHP telah didiskusikan antara perusahaan, masyarakat dan pemda. Tapi perusahaan tetap bertahan untuk tidak membagi lahan yang ada di Kapar yang telah ada sawit saat ini, sehingga masalah menjadi tidak terselesaikan.

Dari keterangan perusahaan ini, tergambar dengan jelas bahwa masalah plasma tersebut berupa tidak samanya pembangunan perkebunan inti dengan perkebunan plasma. Adanya ketidaktransparanan KUD dan yang lebih berat adalah masalah pembagian plasma kepada anak kemenakan. Selain tidak adanya kreteria siapa penerima plasma, juga tidak ada kontrol yang efektif dari masyarakat dan pemerintah terhadap pelaksanaan kewenangan ninik mamak dalam menetapkan peserta plasma. Sehingga membuka peluang penjualan lahan-lahan plasma kepada pihak-pihak yang bukan pemilik ulayat semula.

Berdasarkan hal diatas, beberapa kemungkinan dapat terjadi, misalnya masalah ini akan tetap mengambang sampai HGU habis, sehingga ketika HGU habis, masyarakat tidak akan mendapatkan apapun karena sawit tidak produktif lagi. Kemungkinan lain adalah dengan alasan adanya panen TBS oleh masyarakat yang menduduki lahan, akan ada upaya penertiban yang melibatkan aparat keamanan. Kedua kelompok masyarakat yang ada di lahan PT. PHP termauk kelompok tani Tunas Mekar yang berada dilokasi lahan kosong yang di plot untuk plasma akan terkena dampak. Perusahaan juga memperkirakan bahwa ada kelompok yang diuntungkan dalam pendudukan lahan ini, karena TBS yang di ambil tersebut dijual kepada penampung lain.

d.3. Pergulatan Kepentingan; Antara Tanggung Jawab Kultural dengan Kepentingan Ekonomi

Ada satu dimensi khusus yang sangat menarik ketika membaca dan mencermati kasus Kapar yaitu bagaimana pergeseran kepemimpinan ninik mamak dan hubungannya dengan pelepasan lahan di nagari Kapar. Salah satu contoh kasusnya adalah kasus pemangku gelar Rangkayo Mudo.

Gelar adat Rangkayo Mudo termasuk kedalam struktur ”ninik mamak ampek di dalam” yang mempunyai kewenangan mengatur pengalokasian tanah ulayat nagari Kapar. Berdasarkan wawancara dengan M. Rangkayo Mudo, beliau menyatakan bahwa dia tidak setuju melepaskan lahan ulayat nagari Kapar kepada PT. PHP. Tapi dalam surat penyerahan ulayat Kapar kepada Pemda Pasaman untuk PT. PHP terdapat tanda tangan orang lain yang menyetujui pelepasan ulayat tersebut dengan memakai gelar Rangkayo Mudo. Ternyata M. Rangkayo Mudo telah diganti secara sepihak dengan M.J. Rangkayo Mudo. Surat penyerahan lahan tersebut di tandatangani oleh M.J. Rangkayo Mudo yang baru diangkat tadi. Menurut pengakuan M. Rangkayo Mudo (yang disingkirkan), sejak itu beliau selalu ditakut-takuti agar tidak melaksanakan lagi fungsi-fungsi yang semestinya menjadi tanggung jawab jabatan/gelar adat Rangkayo Mudo .

Kasus lain, Jando Lela adalah koordinator dari ”ninik mamak ampek di dalam” yang mempunyai kewenangan mengatur pengalokasian tanah ulayat nagari Kapar. Gelar adat Jando Lela pada awalnya dipangku oleh BA. Tapi karena anak kemenakan tidak menyenangi BA, gelar adat Jando Lela kemudian dipindahkan kepada B. B kemudian memberikan kuasa pelaksanaan jabatan Jando Lela kepada R .

Tetapi BA tetap bersikeras bahwa dialah yang merupakan Jando Lela asli dan definitif. BA dengan jabatan Jando Lelanya kemudian menyetujui dan menandatangani penyerahan lahan ulayat nagari Kapar kepada PT. PHP dan kepada indifidu yang lain. Posisi BA sebagai Jando Lela diperkuat dengan SK Bupati Kepala Daerah TK II Pasaman No. 97/Kpts/Bup-Pas/1986 Tentang Pengukuhan Susunan Kepengurusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Dalam Kabupaten Pasaman.

Masalah-masalah pergantian pemangku adat ini cukup menimbulkan keresahan masyarakat, bahkan cendrung melahirkan konflik-konflik horizontal. Pergantian ini juga sampai pada level pemangku pucuk adat sebuah nagari yang merupakan jabatan adat tertinggi di nagari-nagari di Pasaman. Pergantian ini banyak melibatkan Pucuk Adat Pasaman yaitu Daulat Yang Dipertuan Parik Batu. Karena itu dalam surat no. 147/1738/Pemkab-1989 dengan perihal Pemberian Surat-Surat Keputusan, Bupati Pasaman memberikan peringatan kepada Tuantu Marah Sudin pemangku Daulat Yang Dipertuan Parit Batu, Pucuk Adat Pasaman agar tidak secara serampangan memberikan surat keputusan pengangkatan pucuk adat di nagari-nagari dalam wilayah adatnya.

Dari paparan diatas jelas terlihat adanya pertentangan kepentingan ekonomi yang mempengaruhi proses pergantian pemangku adat dengan keinginan beberapa pemangku untuk tetap menjalankan fungsi aslinya dengan konsisiten, namun kalah.

Dalam belitan berbagai masalah-masalah yang mengikuti pembangunan perkebunan besar di pasaman ini, menjadi relevan bait lagu rakyat yang dikutip pada awal bagian ini.
Simpang Ampek Kadai Sabalah, Sasimpang Jalan ka Kinali, Buah Labek dahannyo Lamah, Masak Ranun Tagantuang Tinggi, Mudiak Padati Rang Andaleh, Tiok Kelok Bapandakian, Nan Den Sangko Buah Ka Lareh, Kiro Tampuaknyo Bapatian, Antah Ka Jo Apo Kadijuluak Pinggalan Lai Sayuik Pulo, Kok Ranggang Buah Dari Tampuak, Balungguak Karuang Manantinyo.

Simpang Empat Kedai Sebelah, Sesimpang Jalan Ke Kinali, Buah Lebat dahannya Lemah, Masak Ranum Tergantung Tinggi, Mudik Pedati Orang Andaleh, Tiap Kelok Berpendakian, Yang Kukira Buah Akan jatuh, ternyata Tampuknya Di Patriakan, Entah Dengan Apa Akan Di Jolok, Penjolok Punya, Tapi Panjangnya Kurang, Jika Renggang Buah Dari Tampuk, Menumpuk Karung Menunggunya.

Lagu ini menceritakan ketidak mampuan sesorang untuk meraih sesuatu. Dalam konteks sawit, besarnya TBS seolah mau jatuh dengan sendirinya ketangan masyarakat nagari di Pasaman, tapi ternyata tidak, karena tangkai buahnya teramat kuat dipegang orang lain seperti dipatri. Kalaupun diusahakan untuk memperolehnya dengan menggunakan berbagai cara, kalaupun berhasil, akan melahirkan masalah baru, karena ada banyak orang yang berkepentingan terhadap sawit tersebut.

e. Masalah-Masalah Hukum Dalam Kasus-Kasus Perkebunan

Kehadiran investor di Kab. Pasaman Barat, membawa perobahan yang sangat siknifikan dalam kehidupan masyarakat lokal. Berdirinya perkebunan-perkebunan besar pada dekade 1980-an yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur pendukung bagi kelancaran investasi, harus diakui sebagai langkah yang sangat maju dalam membuka daerah Pasaman Barat yang sekian lama terisolasi. Secara perlahan kemudian Pasaman Barat menyonsong masa depan yang lebih cerah. Namun demikian, masuknya investor juga menimbulkan masalah baru bagi rakyat, diantaranya:

e1. Dibawah Gempuran Politik Agraria Nasional; Gerakan Hukum Penghancuran Tanah Ulayat Minangkabau.

Setelah melewati sekian lama berada dalam pengaturan agraria yang plural, pemerintah republik Indonesia kemudian melahirkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih populer disingkat dengan istilah UUPA. UUPA menyadari bahwa di Indonesia terdapat masyarakat adat yang hidup dan mengatur agraria dan sumberdaya alamnya sendiri, otonom dan mengembangkan aturan-aturan mereka. Karena itu beberapa pasal di UUPA mengatur tentang posisi dan kedudukan masyarakata adat beserta atauran mereka dalam kerangka hukum agraria nasional. Aturan ini dapat kita lihat dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan :
” Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Selanjutnya pada Pasal 5 disebutkan sebagai berikut;
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Pada satu sisi pembentuk UU tidak dapat mengabaikan fakta keberadaan masyarakat adat beserta hukum-hukumnya dalam mengatur agraria dan sumberdaya alamnya (ulayat). Tapi disisi lain ada kepentingan besar untuk mensentralisasi penguasaan terhadap ulayat-ulayat masyarakat adat kepada negara (pemerintah). Dalam ruang demikian kemudian lahirlah satu formula yaitu pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Idiom kepentingan nasional inilah yang banyak menjadi akar masalah dilapangan antara pemerintah sebagai penyelanggara negara dengan masyarakat adat. Pendapat pembentuk UU ini diformulakan pada penjelasan umum UUPA sebagai berikut:
"Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".

Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan, sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari pasal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.

Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekal i.


Bagaimana formula diatas bekerja dalam konteks penyediaan lahan-lahan yang luas untuk kepentingan pengembangan ekonomi, khususnya untuk perkebunan-perkebunan besar. Alas hak tanah untuk kepentingan perkebunan adalah Hak Guna Usaha.

Pasal 28 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 (25-35 tahun), guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Ketentuan HGU dalam UUPA diturunkan dalam PP PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

Pasal 4 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Apabila tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Sedangkan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu yang sesuai dengan ketentuan berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna Usaha tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut dan jika dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru.

Sedangkan pada Pasal 18 ditentukan bahwa apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada Negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri.

Di Minangkabau semua tanah-tanah sudah dilekati hak ulayat baik ditingkat kaum, suku dan nagari. Seperti yang ditulis oleh Willinck dan dikutip oleh Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Palakat Panjang yaitu
”Sejengkal tanah terkecilpun di Minangkabau adalah milik salah satu nagari, atau sebagai harta pusako sebuah paruik, atau sebagai harto pencarian oleh salah satu keluarga pribadi, atau sebagai tanah yang tidak dikerjakan tapi kepunyaan nagari. Bagaimanapun juga, semua tanah di Minangkabau senantiasa kepunyaan manusia, tidak penah dimiliki oleh sesuatu yang abstrak”.

Selanjutnya Rusli Amran menulis;
”bahwa istilah staatdomein (milik negara) bisa timbul di Minangkabau yang raja-rajanya sendiri tidak pernah mempunyai hak milik atas tanah, adalah suatu pertanyaan yang mengherankan ahli hukum Willinc itu sendiri” .

Situasi ketiadaan tanah negara bebas di Minangkabau pada suatu masa ketika pemerintahan kolonial Belanda masih berkuasa di Indonesia, sempat memberikan kesulitan masuknya pengusaha perkebunan asing ke Minangkabau berdasarkan asas ”Domain Verklaring” .

Sehingga sebagai terobosan, diawal mulainya pembangunan perkebunan-perkebunan besar di Minangkabau pada saat kolonial Belanda. Terjadi berbagai perjanjian perkebunan antara masyarakat adat Minangkabau dengan pengusaha asing. Perjanjian tersebut terutama perjanjian pinjam pakai tanah. Perjanjian ini hanyalah perjanjian pinjam pakai bukan jual beli tanah adat. Karena tanah-tanah adat tidak boleh diperjual belikan. Perjanjian-perjanjian pinjam pakai tersebut terutama tidak tertulis. Karena secara adat, perjanjian tanah tidak perlu tertulis. Syarat syahnya perjanjian tersebut adalah diketahui oleh batas-batas tanah (Batas Sepadan) dan dilakukan pengukuhan perjanjian tersebut dalam sebuah seremonial adat.

Perjanjian ini secara hukum kolonial dianggab syah karena pada saat yang sama terjadi penggolongan hukum yang berlaku terhadap penduduk hindia berdasarkan IS pasal 163 dan 161 IS. Berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk hindia dibagi atas tiga golongan besar, masing-masing golongan tersebut tunduk kepada hukumnya masing-masing. Golongan eropah tunduk kepada hukum eropah, Golongan Timur Asing tunduk kepada Hukum Adatnya dan Golongan Pribumi (Bumi Putra) tunduk kepada hukum adatnya. Masyarakat Adat Minangkabau termasuk kedalam Golongan Bumi Putra yang tunduk kepada Hukum Adatnya. Karena perjanjian pinjam pakai adalah atas tanah-tanah adat milik masyarakat adat Minangkabau, maka hukum yang dipakai adalah Hukum adat Minangkabau yang tidakmensyaratkan perjanjian dibuat secara tertulis (Contoh kasus Mungo & Kapalo Hilalang). Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, perjanjian dibuat juga secara tertulis, contohnya kasus Guguk. Tetapi, perjanjian tersebut dibuat tidak sebagaimana layaknya perjanjian umum. Surat perjanjian lebih merupakan pernyataan pemilik tanah yang memperjanjikan tanahnya dengan pihak ketiga. Jadi dalam surat dimaksud, sipeminjam tidak ikut menandatangani.

Kedua contoh ini menjadi masalah ketika rakyat memilih peradilan umum menjadi media untuk pengembalian hak mereka atas tanah adatnya. Diperadilan umum, bukti-bukti harus berupa bukti tertulis, sementara bukti saksi tidak lagi mungkin untuk ditampilkan, karena perjanjian dibuat berpuluh-puluh tahun sebelum kasus ini diangkat keperadilan. Kalau dalam contoh kasus yang memakai perjanjian tertulis, surat tersebut juga tidak dihargai karena dinyatakan sebagai pernyataan sepihak. Apalagi kadang perjanjian tersebut hanya ditanda tangani dengan tanda silang. Bukti yang merupakan perjanjian sepihak ini dilakukan kerena masyarakat adat Minangkabau menganggap pihak ketiga tersebut lebih rendah posisinya dari pemilik tanah. Sehingga pihak ketiga tidak perlu menandatangani surat tersebut. Bentuk formil surat ini juga berkembang sampai ke perbuatan hukum gadai tanah adat.

Ketika telah terjadi perjanjian pinjam pakai terhadap tanah adat antara masyarakat Adat Minangkabau dengan pengusaha kolonial. Si pengusaha akan memohonkan Hak Erfpach atau dikonfersi oleh UUPA sebagai Hak Guna Usaha. Permohonan keluarnya acta van erfpach ini dimaksudkan sebagai jaminan hukum dari pemerintah kolonial atas usaha perkebunan yang dilakukan oleh pengusaha pada saat itu. Dengan dasar erfpach inilah kemudian pemerintah Republik Indonesia mengklaim tanah-tanah perkebunan lama tersebut sebagai tanah negara Ex Erfpach. Kelahiran UUPA kemudian mengkonfersi hak Erfpach menjadi HGU yang menyebabkan terjadinya peralihan hak pemilikan tanah adat menjadi tanah negara secara sepihak tanpa mempertimbangkan proses perjanjian antara masyarakat adat dengan pengusaha kolonial.

Lalu bagaimana dengan pemberian HGU diatas tanah-tanah ulayat di alam kemerdekaan. Pemerintah NKRI mempunyai modus sendiri untuk menyediakan tanah bagi pemberian HGU. Pasal 2 Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal menentukan bahwa perolehan tanah dalam rangka pelaksanaan ijin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak baru. Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan ketetentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohonkan hak sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam kasus di Minangkabau, khususnya di Pasaman digunakanlah istilah adat, ”adat diisi limbago dituang” dan ”Siliah Jariah” untuk memperlancar proses penyerahan hak ulayat ini kepada negara atau pemda setempat. Dalam Pasal 4 Keputusan Bupati KDH. Tk II Pasaman No. 6 Tahun 1998 dinyatakan

Ayat (1)
”Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik Mamak/Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok tani peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat”.

Ayat (2)
“Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan berikutnya calon petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memerintahkan kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai tanah negara bekas tanah ulayat adat, memasang tanda-tanda batas, melaksanakan pengukuran keliling dan penghitungan luas areal secara kadesteral”.

Dari beberapa ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa tanah-tanah ulayat tersebut diserahkan terlebih dahulu kepada pemda dan setelah itu barulah masuk pada proses pemberian HGU. Penyerahan hak ulayat ini diikuti dan beserta dengan proses adat ”adat diisi, limbago dituang” dan pemberian ”siliah jariah”.

Gambar 9 Proses Pelepasan Lahan Ulayat Rakyat di Pasaman

Seperti yang diuraikan diatas “Siliah Jariah”, secara gramatikal dapat diartikan sebagai “Pengobat Lelah”. Siliah Jariah baru populer ketika gelombang booming pembukaan perkebunan-perkebunan besar diawal tahun 1980-an melanda Sumatera Barat. Siliah Jariah adalah modus yang dipakai untuk mendapatkan tanah ulayat dari komunitas-komunitas masyarakat adat Minangkabau di wilayah-wilayah perkebunan besar. Oleh karena itu, lembaga Siliah Jariah hanyalah populer di Kab. Pasaman dan Kab. Pesisir Selatan dan daerah-daerah perkebunan lainnya. Siliah Jariah atau di Kabupaten Pasaman juga disebut dengan Upah Tumbang secara tekstual adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan kepada sebuah komunitas masyarakat adat sebagai imbalan atas pemakaian tanah mereka bagi kepentingan pihak ketiga. Dalam praktek, pemberian siliah jariah diberikan melalui pangulu-pangulu adat daerah setempat.

Secara konseptual, Lembaga Siliah Jariah bukanlah lembaga jual beli. Lembaga Siliah Jariah hanyalah sebuah mekanisme adat berupa pemberian izin berladang/izin pemakaian tanah ulayat kepada pihak ketiga diluar komunitas mereka. Pembayaran uang atau barang-barang sebagai siliah jariah, tidaklah secara otomatis terjadi perpindahan hak milik atas tanah tersebut. Benda-benda atau sejumlah uang yang dibayarkan adalah sebagai uang adat sebagai syarat dikeluarkannya izin berladang untuk pihak ketiga tersebut. Tidak terjadinya perpindahan hak kepemilikan atas tanah ulayat yang disiliah jariahkan tersebut juga disebabkan karena tanah ulayat tidak dapat diperjual belikan.

Lembaga Siliah Jariah inilah salah satu media yang digunakan untuk menguasai tanah-tanah adat milik masyarakat adat Minangkabau. Secara konseptual, lembaga Siliah Jariah ini sulit dipertanggungjawabkan keabsahannya dalam tatanan adat Minangkabau. Karena pemakaian lembaga Siliah Jariah bersifat sangat spesifik dan mencengangkan. Lembaga ini hanya populer didaerah-daerah perkebunan besar. Patut dicurigai bahwa lembaga Siliah Jariah lahir sebagai satu terobosan untuk mempermudah masuknya baro-baron perkebunan besar ditengah-tengah masyarakat adat Minangkabau.

Namun demikian, sebagaimana sifat hukum adat yang dinamis, lembaga Siliah Jariah dapat diterima dalam tatanan hukum adat Minangkabau berdasarkan pendekatan jenis adat, yaitu termasuk adat yang diadatkan, bukan adat yang sebenarnya adat. Adat yang diadatkan dilahirkan untuk mengakomodir dinamika internal mereka yang selalu berkembang. Hal ini juga berdasarkan filosofi mereka yaitu “ Sakali Aia Gadang, Sakali Tapian Barubah” .

Tetapi dengan pendekatan pembagian adat tersebut juga, kekuatan hukum lembaga Siliah Jariah juga lemah. Karena hukum-hukum yang mempunyai kekuatan hukum penuh hanyalah hukum-hukum yang termuat didalam Adat yang sebenarnya adat. Konsepsi adat yang sebenarnya adat inilah yang diturnkan dari nenek moyang. Sementara itu adat yang diadatkan hanyalah untuk menjawab dinamika sesaat dan kasuistik, meskipun kemudian menjadi sebuah prilaku yang diikuti pada kasus-kasus selanjutnya.

Karena kepentingan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan devisa negara, maka untuk menempatkan baron-baron perkebunan ini, pemerintah dengan segala cara mencarikan tanah. Setelah ada investor yang berminat untuk membangun perkebunan besar disuatu daerah, pemerintah daerah kemudian melakukan pendekatan dengan pangulu-pangulu adat didaerah yang akan dibangun areal perkebunan besar tersebut. Tanah-tanah yang digunakan, apakah itu berupa tanah peladangan atau tanah cadangan berupa hutan diberikan oleh kelompok pangulu-pangulu adat tersebut dengan lembaga Siliah Jariah tadi. Investor melalui pemerintah daerah setempat kemudian memberikan sejumlah uang atau barang sebagai tanda telah terjadinya siliah jariah antara masyarakat adat setempat dengan pemda.

Dalam pemahaman masyarakat adat, perpindahan hak kepimilikan atas tanah yang disiliah jariah tadi, tidak terjadi. Menurut mereka, setelah masa perjanjian pembukanan kebun selesai, maka tanah-tanah tersebut akan kembali kepada mereka karena sesungguhnya menurut pandangan mereka jual beli atas tanah tersebut tidak ada sama sekali. Tetapi dengan pemahaman siliah jariah ini, tentu HGU tidak dapat diberikan. Karena HGU baru dapat diberikan diatas tanah milik negara. Sedangkan dengan lembaga Siliah Jariah versi masyarakat adat Minangkabau tadi, yang terjadi adalah peminjam pakaian tanah. Disinilah letaknya manipulasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah.

Berdasarkan fakta keluarnya puluhan HGU diatas tanah ulayat untuk perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Barat dan berdasarkan analisa wawancara yang dilakukan dengan para ninik mamak yang ditemui pada kunjungan lapangan, dalam pemahaman masyarakat adat, proses siliah jariah tidaklah menghilangkan hak ulayat mereka. Sehingga mereka masih memimpikan tanah-tanah ulayat akan kembali apabila HGU perkebunan telah habis jangka waktunya. Sedangkan dalam pendekatan pemerintah dapat disimpulkan bahwa Siliah Jariah adalah jual beli yang mengakibatkan hapusnya hak ulayat masyarakat adat setempat karena telah terjadi jual beli. Tanah-tanah yang telah disiliah jariahkan, secara otomatis telah menjadi milik pemerintah. Akibatnya impian masyarakat adat Minangkabau, bahwa tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan besar akan kembali kepada mereka setelah berakhirnya HGU perusahaan tersebut adalah impian kosong.

Kepala Cabang kantor BPN Pasaman Barat menyebutkan bahwa sesuai dengan peraturan agraria, maka hak ulayat telah hapus ketika tanah-tanah telah di HGU kan. Apabila HGU tidak diperpanjang atau dicabut, maka tanahnya akan berada dalam penguasaan negara. Kalaupun negara (pemerintah) bermaksud untuk mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat, maka status tanah tersebut tidak lagi menjadi tanah ulayat, karena dalam hukum agraria nasional tidak terdapat ketentuan yang mengatur pemberian hak oleh pemerintah dalam bentuk hak ulayat, tapi dalam bentuk hak milik dan hak-hak lain yang ditentukan dalam UUPA. Pendapat senada juga disampaikan oleh pihak perusahaan (Wilmar Group), bahwa perpanjangan HGU adalah hak perusahaan. Perusahaan memandang masalah tersebut bukan masalah mereka, karena itu adalah masalah pemerintah dan hukum agraria. Perusahaan hanya mengikuti hukum yang berlaku.

Dalam konteks ini, akan semakin menarik menampilkan hasil wawancara dengan Ketua DPRD Pasaman Barat. Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik kasus Kapar, beliau menyampaiakan bahwa sesungguhnya investor perkebunan di Pasaman telah merasa memiliki tanah-tanah perkebunan yang diperuntukkan untuk lahan inti. Karena untuk memperoleh areal lahan inti tersebut, investor telah mengeluarkan uang banyak. Diawal tahun 1980an tersebut, investor membayarkan ± Rp. 500.000,- untuk setiap Ha lahan inti. Tetapi yang sampai ketangan masyarakat hanyalah Rp. 40.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- saja untuk setiap Ha lahan ulayat. Dimana uang ini yang dinamakan dengan uang ”Siliah Jariah”.

Penipuan hukum ini didukung dengan pendekatan keamanan yang dilakukan oleh pemda. Apabila kemudian timbul gejolak di tengah-tengah masyarakat menuntut hak tanah ulayat atas perkebuna besar ini, maka akan ditekan dengan pendekatan represif seperti yang terjadi dalam kasus Kapar. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemerintah memberikan pengakuan-pengakuan politis terhadap pangulu-pangulu yang kompromis dan mendorong penyingkiran pangulu-pangulu/pimpinan adat yang konsisten terhadap keberadaan tanah ulayatnya.

Jika ditarik kesimpulan dari irisan-irisan peraturan agraria yang mengatur tanah adat dengan praktek dilapangan (Siliah Jariah) diatas, jelas terlihat hukum agraria nasional melalui lembaga Hak Guna Usaha (HGU) sesungguhnya berkeinginan untuk menghapuskan penguasaan-pengausaan tanah berdasarkan hak adat/hak ulayat. Perlindungan terhadap tanah-tanah hak milik adat dilakukan apabila tanah-tanah tersebut tidak bernilai ekonomi atau dilekati oleh kepentingan ekonomi tertentu.

e.2. Dimensi Hukum Kasus Kapar

Sekarang marilah kita lihat selintas tentang pelanggaran-pelanggaran hukum yang ditemukan dalam kasus Kapar. Pelanggaran akan dilihat dalam beberapa pendekatan hukum. Salah satu tokoh ninik mamak yang banyak dipersoalkan oleh masyarakat Kapar adalah BA Jando Lela (selanjutnya disingkat dengan inisial BAJL). Banyak dokumen-dokumen penyerahan tanah ulayat Kapar ditandatangani oleh BAJL ini. Besarnya peran yang dimainkan oleh BAJL dalam setiap pelepasan tanah ulayat dan posisi yang di embannya senbagai ninik mamak yang mengkoordinatori struktur ”Ninik Mamak Ampek Didalam” yang memiliki kewenangan untuk mengalokasikan tanah ulayat nagari Kapar menyebabkan bagian ini akan menyorot secara khusus perbuatan-perbuatan hukum yang pernah dilakukannya.

Pertama, Aspek hukum Adat. Jika kita hubungkan antara aturan adat yang berlaku di nagari Kapar dengan praktek yang dilakukan oleh beberapa ninik mamak mereka maka tindakan sepihak yang dilakukan oleh sekelompok ninik mamak dalam pelepasan hak atas tanah ulayat Nagari Kapar telah melanggar hukum adat. Hal ini disebabkan oleh :
1. Karena dalam mekanisme pengelolaan/penyelesaian sengketa tanah ulayat, anak kemenakan/anak nagari Kapar berhak dan harus diikut sertakan. Didalam hukum adat yang berlaku di nagari Kapar, lembaga ini disebut dengan “Pancang Silao”. Sementara itu pelepasan dilakukan secara sepihak.
2. Berdasarkan hukum adat Kapar, prinsip tanah ulayat adalah untuk cadangan bagi anak kemenakan dikemudian hari. Sehingga tidak ada peluang untuk diperjual belikan kepada pihak ketiga, termasuk kepada PT. PHP.
3. Pelepasan tanah ulayat kepada pihak lain, diluar anak nagari Kapar adalah sebuah perbuatan yang sangat menyalahi hukum adat yang berlaku di Nagari Kapar. Oleh karena itu pelepasan-pelepasan yang dilakukan oleh sekelompok ninik mamak diatas, tidak bisa dibenarkan. Kalaupun tanah-tanah tersebut akan diberikan kepada pihak lain diluar penduduk asli Kapar, selain harus mendapat persetujuan dari masyarakat Kapar, sipenerima hak tersebut harus melalui proses inisiasi adat yang akan mengakibatkan mereka menjadi bagian dari masyarakat Kapar.

Kedua, aspek hukum perdata. Pelepasan tanah-tanah ulayat nagari Kapar juga melanggar ketentuan hukum perdata. Pasal 1332 KUH Perdata menyebutkan “ hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH apa yang dimaksud dengan istilah hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam pasal 1332 KUH Perdata adalah tidak mencakup benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum.4

Berdasarkan ketentuan hukum adat yang mengatur tanah ulayat di Nagari Kapar seperti yang telah kita uraikan diatas, dapat ditegaskan bahwa fungsi atau kegunaan tanah ulayat adalah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan seluruh anak kemenakan di Nagari Kapar. Oleh karena itu, tanah ulayat di nagari Kapar tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu objek dari perjanjian jual beli yang dilakukan oleh sekelompok ninik mamak saja dengan pihak ketiga. Maka, seluruh perjanjian jual beli yang dilakukan dengan objek tanah ulayat nagari Kapar, adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi unsur pasal 1332 KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kalau ditinjau dari sisi syarat syahnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini, perjanjian pelepasan hak atas tanah ulayat nagari Kapar kepada pihak ketiga adalah tidak syah atau sekurang-kurangnya cacat hukum. Karena tindakan sekelompok ninik mamak yang menyatakan diri sepakat dengan pihak ketiga yang akan menerima penyerahan hak atas tanah ulayat nagari Kapar, tidak dapat dinyatakan sebagai kesepakatan para pihak.

Kelompok ninik mamak tersebut tidak merupakan representasi dari keseluruhan ninik mamak maupun anak nagari Kapar. Dimana seharusnya para pihak yang menyatakan sepakat untuk mengadakan perikatan pelepasan hak adalah ninik mamak yang betul-betul merupakan representasi dari keseluruhan anak kemenakan di Nagari Kapar. Jadi yang melakukan kesepakatan tersebut hanyalah sekelompok kecil orang yang tidak berhak untuk melakukan pelepasan hak atas tanah ulayat tersebut. Artinya, sekelompok ninik mamak (BAJL dan rekan) telah melakukan perbuatan hukum yang berada diluar haknya dan telah melanggar azas hukum perdata yang berbunyi “Memo Plus Juris At Alium Transpere Potes Hebet” atau seseorang tidak bisa melakukan perbuatan hukum diluar haknya “. Tindakan sekelompok ninik mamak tersebut adalah tindakan melawan hukum (Onrecht matiggedaat). Pelanggaran terhadap azas hukum perdata tersebut menyebabkan semua perjanjian yang dibuat oleh sekelompok ninik mamak Nagari Kapar yang menyebabkan terjadinya pelepasan hak atas tanah ulayat nagari Kapar adalah batal demi hukum karena adalah tindakan yang termasuk kedalam Onrechtmatiggedaat. Oleh karena itu, semua tindakan-tindakan hukum selanjutnya yang terjadi diatas tanah ulayat Nagari Kapar, baik berupa pensertifikatan, pemberian izin usaha dan tindakan-tindakan lain adalah batal demi hukum.

Ketiga, aspek hukum Pidana. Pada tanggal 21 Januari 1990, BAJL pemangku gelar adat Jando Lela, dipecat oleh anak kemenakannya suku melayu. Pemecatan ini berakibat hilangnya kewenangan BAJL sebagai ninik mamak ampek di dalam. Pada tanggal 22 Januari 1990, berdasarkan kesepakatan anak kemenakan suku Malayu, jabatan/gelar adat Jando Lela dipindahkan kepada Bahari, Ba. Bahari, Ba kemudian melimpahkan kewenangan pelaksanaan segala hak dan kewajiban pemangku Jando Lela kepada Rosman.

Perbuatan hukum tersebut menyebabkan habisnya kewenangan BAJL untuk mengaalokasikan lahan/tanah ulayat dinagari Kapar ataupun kewenangan-kewenangan lain sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh ninik mamak di dalam nagari Kapar. Namun demikian, BAJL masih menjalankan kewenangan yang seharusnya tidak lagi dia miliki yaitu dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Menandatangani surat pernyataan kepemilikan tanah tanggal 29 Mei 1993 atas nama Fauzi dengan menyebut dirinya sebagai ninik mamak adat.
2. Manandatangani surat keputusan KAN Kapar tanggal 5 Maret 1994, dengan menyebut dirinya sebagai ketua I KAN Kapar.
3. Menandatangani surat pernyataan kepemilikan tanah tanggal 2 Mei 1994 atas nama Indra Krana, dengan menyebut dirinya sebagai ninik mamak adat.
4. Dalam surat tugas No. 19/KUD-Kr/I-1997, tanggal 12 Oktober 1997, Bahar. A menyebut dirinya sebagai ketua KAN Kapar, padahal faktanya sampai tahun 1997, Ketua KAN Kapar adalah Syahrun Gampo Alam berdasarkan surat pernyataan tanggal 6 Februari 1997. Tindakan pencatutan jabatan Ketua KAN ini masih berlangsung pada surat-surat selanjutnya; surat No. 01/UUP/KUD/X/1997 tanggal 27 Oktober 1997, surat tanggal 12 Juli 2000, surat No. 08/KA-KR/VIII/2000, tanggal 19 Agustus 2000 dan surat No. 02/Pc.Adat/L.Kr/2000, tanggal 31 Agustus 2000.
5. Dan tindakan-tindakan lain yang berhubungan dengan kewenangan yang tidak lagi dimilikinya tetapi tetap dilakukan.

Tindakan BAJL tersebut merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, berupa tindak pidana:
1. Tindak Pidana Pemalsuan Pasal 263 KUHP
Tindakan BAJL terutama dalam mengeluarkan surat pernyataan kepemilikan tanah kepada seseorang, sedangkan dirinya tidak lagi memiliki kewenangan untuk itu merupakan sebuah pemalsuan keadaan dan termasuk kedalam unsur tindak pidana pemalsuan.
2. Tindak Pidana Penipuan Pasal 378 KUHP
Tindakan Bahar. A mengeluarkan surat dengan memakai jabatan palsu, baik sebagai ketua KAN maupun sebagai Ninik Mamak merupakan perbuatan melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri. Karena pada saat itu BAJL tidak lagi sebagai ninik mamak dan tidak pernah menjabat sebagai ketua KAN Kapar. Perbuatan ini termasuk kedalam tindak pidana penipuan.

Disamping kedua indikasi tindak pidana diatas, tindakan BAJL dan sekelompok ninik mamak yang termasuk kedalam kelompoknya, diindikasikan juga melakukan tindak pidana Stalionat, pasal 358 KUHPyang berbunyi:
“ diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun :
ke 1. Barang siapa dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak tanah indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman/pembibitan diatas tanah dengan hak indonesia, padahal diketahuinya bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain”.

BAJL dan kawan-kawan telah melakukan pelepasan hak atas tanah ulayat Nagari Kapar secara sepihak dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri tanpa persetujuan anak kemenakan. Padahal, sekelompok ninik mamak tidak dapat menjadi representasi dari pemilik tanah ulayat dinagari Kapar. Disamping itu, diatas tanah yang di klaim sebagai ulayat tersebut terdapat juga tanah-tanah yang secara riil dikuasai dan diolah oleh anak kemenakan .



Lari dari Polisi

20 Warga Pasaman Minta Perlindungan LBH


TEMPO Interaktif, Padang: Sebanyak 20 dari 30 orang warga Kapar, Pasaman Barat, yang lari dari kejaran polisi sejak April 2000 lalu, kini dalam perlindungan LBH Padang. Kepala Operasional LBH Padang Sudi Prayitno SH, mengungkapkan kepada wartawan di Padang, Selasa (1/8). Ke-20 warga itu merupakan limpahan dari LBH Jakarta, setelah Ikrak Jaya (Ikatan Keluarga Rantau Kapar) Jakarta Raya yang menampung mereka sejak melarikan diri ke Jakarta dan mengadukan nasib mereka ke LBH Jakarta.
Saper Sutan Pamuncak (43), salah seorang dari mereka menceritakan, awal kejadian bermula dari tanah ulayat seluas sekitar 3.500 hektare di Kanagarian Kapar yang dijual Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) Kapar, Bahar A, kepada PT Permata Hijau Pasaman, pengelola kelapa sawit. Tanah ulayat yang tersisa hanya 200 hektare, kemudian direncanakan oleh Bahar A. akan dijual juga. Padahal warga di tiga desa dalam Kanagarian Kapar, yang juga kaum Bahar, sangat menggantungkan hidupnya pada tanah tersebut untuk bertani. Karena tak setuju dengan kemauan Bahar, warga yang anak-kemenakan Bahar itu tetap terus bertani, mempertahankan tanahnya.
Pada siang 28 April 2000 tiba-tiba Bahar dkk datang bersama serombongan polisi dari Polsek Simpang Empat, Pasaman, mendatangi para petani yang sedang berladang. Sebanyak 7 orang petani ditangkap dan ditahan di Mapolsek. Warga tak puas atas penangkapan itu, mereka mengutus wakilnya ke Mapolsek menuntut agar mereka dilepas. Tapi petugas piket tak mau melepas dengan alasan karena orang-orang yang ditahan titipan Wakapolres yang saat itu tak berada di tempat.
Tak puas dengan penolakan tersebut, akhirnya sekitar 300 warga Kenagarian Kapar berkumpul dan mendatangi Mapolsek. Mereka mendesak agar ke-7 warga yang ditahan segera dilepaskan. Tak terbendung oleh polisi piket, warga pun berhasil melepaskan tahanan. Malangnya, dua orang napi lain ikut lepas. Saat itu polisi berhasil membubarkan massa dengan tembakan peringatan.
Keesokan harinya, sebanyak 150 polisi bersenjata lengkap dengan truk, mobil dan sepeda motor mendatangi Kenagarian Kapar. Mereka menggeledah setiap rumah untuk menangkapi setiap lelaki. Ada beberapa lelaki yang tertangkap di warung dan di jalan. Yang lainnya melarikan diri. Para polisi itu, jelas Pamuncak, berteriak mengatakan mereka datang untuk perang dengan penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara.
Menurut Pamuncak, yang menangis di hadapan wartawan menceritakan nasibnya dan warga lain yang lari dengan pakaian di badan, sampai kini polisi terus mencari penduduk laki-laki. Sedangkan yang tertangkap baru boleh keluar bila ada uang jaminan Rp 500.000. Penduduk laki-laki yang lari hampir 100 orang. Mereka lari ke Medan, ke Jakarta dan daerah lain. Sebanyak 30 orang yang lari ke Jakarta ditampung Ikrak Jaya sambil mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM, LBH Jakarta dan Mabes Polri. Komnas HAM pun sudah memberi rekomendasi kepada Gubernur dan Kapolda Sumbar untuk menuntaskan kasus ini. (Febrianti/Padang)