Sunday, December 03, 2006

Ketika Badai Sawit Mempertemukan; Catatan Si “Parewa” Terhadap Buku Tanah Yang Dijanjikan (Promise Land)

Ketika Badai Sawit Mempertemukan
Catatan Si “Parewa” Terhadap Buku Tanah Yang Dijanjikan (Promise Land)

Andiko

Judul Buku : Promise Land-Tanah Yang Dijanjikan
Penulis : Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surombo dan Herbert Pane

Sahabat dan handai taulan

Bisakah anda bayangkan seorang “Parewa” Padang yang saban hari dibesarkan bergelimang debat dan “cimeeh” di lapau disudut nagari jauh di kaki gunung Marapi di Minangkabau, yang memperbincangkan mulai dari pemilihan presiden sampai ke anjing si Sutan yang pandai berlagak di rimba perburuan babi, diantara hempasan batu domino dan umpatan pemilik lapau, karena kopi setengah telah melewati tambahan air panas yang ketiga, bertemu dalam perjalanan panjang di tiga propinsi dengan seorang Doktor Inggris yang telah melahirkan puluhan buku, menjelajah dunia dan melahirkan kader-kader NGO sekelas direktur NGO Internasional, lengkap dengan timnya yang berasal dari LSM-NGO top di Batawi.

Mungkin anda akan geli sekali ketika mendengar perdebatan antara keduanya tentang statement si parewa (yang tidak pada tempatnya) yang menyatakan cinta itu hanyalah kegenitan pikiran manusia. Anda tau apa hasilnya ?, selain perjalanan yang hiruk pikuk, hasil lainnya adalah sumpah serapah penterjemah yang kehabisan air ludah menterjemahkan perdebatan tak berkesudahan itu sepanjang Liwa-Bandar Lampung. Yah bagaimana tidak demikian, jangankan berbahasa Inggirih…(eh sorry Inggris maksudnya), bahasa Indonesia aja si “Parewa” tidak lurus, setiap menyebut kata “Rakyat” selalu menimbulkan tertawa orang.

Tapi itulah nasib saudara, nasip…nasip. Si “Parewa” dari “kampuang nan jauah dimato”, diberi kesempatan belajar bersama FPP Inggris, Sawit Watch, ICRAF dan HuMa, untuk melihat “badai sawit”, membaca tumpukan kebijakan, menulis dan mendiskusikan laporan mulai dari sambil mandi-mandi di lubuk tempat berniat, di Lubuak Landua di kaki gunung Pasaman, ke internet sampai terakhir pada rapat mendadak di Konfrensi Internasional Land Tenure di Bali. Sekali lagi, itulah nasip “dunsanak”, nasip nan membawa “anak dagang” jauh ke tanah Betawi.

Harus diakui, di momen itulah si “Parewa” belajar banyak tentang kerendahan hati dan kearifan. Tingginya sekolah sampai sekelas Doktor, banyaknya pengalaman lapangan serta produk yang banyak, ternyata menjadikan orang ibarat padi “semakin berisi, semakin merunduk”. Beda dengan si Muncak tetangga kampung penulis yang berprofesi sebagai pokrol bambu, beliau merasa sangat ahli (seolah-olah Pakar), melihat orang bodoh semua. Sekali mendapat lawan, serasa mau pingsan pulang kerumah, intinya Muncak itu anti dikritik gila pujian, betul-betul produk penjajahan.

Buku yang berjudul Tanah Yang Dijanjikan, atau dalam cetakan fersi Inggirih (logat orang Minang untuk kata Ingris) berjudul Promise Land adalah hasil perjalanan panjang mulai dari Propinsi Lampung lanjut ke Kalimantan Barat dan berakhir di tepi ombak yang berdebur, di Minangkabau. si “Parewa” menuliskan ini bukanlah ibarat “si buntung mendapat cincin atau ibarat si kera mendapat cermin” yang mendapat mainan baru kemudian lupa diri saking gembiranya. Sebagai orang yang cuma “Sato Sakaki”, dalam penelitian ini, niatan si “Parewa” hanyalah untuk mempermudah kepada para sahabat dan handai taulan untuk membacanya. Baiklah, penulis copykan sedikit eksekutif summarynya.

Buku ini adalah merupakan hasil penelitian antara bulan Juli 2006 dan September 2006, Sawit Watch sebuah Lembaga non pemerintah Indonesia yang memantau sektor kelapa sawit Indonesia, organisasi internasional hak asasi manusia, Forest Peoples Programme, berkerjasama dengan pengacara-pengacara dari organisasi hak asasi manusia Indonesia, HuMA dan para ahli penguasaan tanah dari World Agroforestry Centre (ICRAF), melakukan penelitian multi-displin dan intensif tentang proses hukum dan kelembagaan pengadaan tanah untuk penanaman kelapa sawit di Indonesia dengan fokus pada hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Kerja ini dilaksanakan melalui koordinasi dengan NGO lokal dan organisasi masyarakat, kajian kajian lapangan dan wawancara secara mendalam, serta penelitian dan dokumentasi latar belakang hukum.

Penelitian ini juga dikembangkan oleh adanya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah inisiatif yang didorong oleh kalangan industri melibatkan organisasi konservasi dan kelompok keadilan sosial, bertujuan untuk mereformasi cara perkebunan kelapa sawit dikembangkan berdasarkan norma dan standar internasional. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendokumentasikan situasi, berbagai pandangan dan rekomendasi komunitas lokal dan petani kecil, yang terlibat atau mendapat imbas dari kegiatan produksi minyak sawit, 2) Mengukur berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perluasan penanaman kelapa sawit, 3) di indonesia terhadap komunitas lokal dan masyarakat adat, 4) Mendokumentasikan perlindungan hukum atas lembaga adat dan hak adat, 5) Memahami secara mendalam langkah-langkah hukum yang ditempuh oleh perusahaan, 6) dalam pembebasan tanah guna penanaman kelapa sawit di indonesia, 7) Mengukur sejauhmana hukum (peraturan) dipatuhi dan benar-benar melindungi berbagai kepentingan dan hak komunitas serta masyarakat adat, 8) Memastikan apakah standar rspo sesuai dengan kenyataan indonesia dan benar-benar dapat diterapkan oleh komunitas lokal, pejabat pemerintah dan perusahaan, 9) Membuat rekomendasi yang terkait dengan agenda reformasi hukum, kebijakan dan prosedur yang seharusnya diambil oleh pemerintah indonesia untuk melindungi ha-hak masyarakat adat dan komunitas lokal sesuai dengan kewajiban negara yang tertera dalam hukum internasional.

Dari penelitian lapangan itu dapat ditarika beberapa catatan penting yaitu;

Hukum Memperlemah Perlindungan Hak Adat atas Nama ‘Kepentingan Nasional’

Kesenjangan antara prinsip hukum dan kenyataan di lapangan juga ditemukan dalam isu hak-hak atas tanah. Di satu sisi, hukum mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka, sementara di sisi lain prosedur pengukuhan status hukum hak atas tanah adat sangat jarang diterapkan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tata-cara pengukuhan status hukum kepemilikan perorangan di Indonesia juga sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan kepemilikan baru atas tanah lainnya yang dibuat. Sementara reformasi hukum di bidang kehutanan dan agraria sebagaimana diamanatkan oleh ketetapan MPR yang telah ditetapkan lima tahun yang lalu (TAP MPR IX/2001) masih belum menunjukan dampak yang signifi kan.

Kebijakan Berpihak pada Pembangunan Perkebunan Skala Besar

Disisi lain, Konstitusi dan hukum Indonesia mengakui Hak Menguasai Negara dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hukum membiarkan pengaturan lahan untuk kepentingan Negara dan kepentingan sektor swasta sesuai dengan rencana pembangunan nasional. Walhasil, semua hak-hak yang ada pada masyarakat dengan mudah diabaikan untuk perluasan sektor swasta.

Hukum dan peraturan dibuat untuk mendorong pembangunan perkebunan. Walaupun dibuat untuk memastikan keamanan investasi, perencanaan yang terkoordinasi, kepentingan umum dan penyelesaian konflik tumpang-tindih hak, namun hukum dan peraturan tersebut sedikit sekali membuat ketentuan pengukuhan status hak terhadap hak-hak dan kepentingan komunitas. Seringkali hukum memperlakukan apa yang pada kenyataannya adalah tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai tanah Negara.

Tanah tanah yang dianggap sebagai tanah Negara adalah tanah tidak dibebani hak atau diberikan kepada perusahaan melalui proses yang menempatkan masyarakat pada posisi dimana hanya sedikit sekali hak yang benar-benar diakui pemerintah. Hak-hak masyarakat adat selanjutnya dihilangkan dan dipinjamkan kepada perusahaan sebagai penyewaan 90-an tahun atas tanah Negara.

Konversi Hutan dari Ketidakpastian Hukum

Pada tahun 1982 sekitar 142 juta hektar daratan Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan, yang 30% diantaranya dikategorikan sebagai kawasan untuk konversi. Tata-cara untuk menerapkan kebijakan ini dikembangkan untuk berbicara dengan masyarakat lokal dan lembaga yang berwenang tentang kawasan tersebut sebelum diukur dan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara jika memang bebas status. Hingga kini baru 12% dari Kawasan Hutan tersebut telah dikukuhkan sebagai Kawasan Hutan Negara. Sisanya secara hukum statusnya tidak jelas.

Walaupun demikian, dari sudut pandang administrasi semua kawasan hutan diperlakukan seolah-olah kawasan tersebut dimiliki oleh negara dan banyak yang telah dilepaskan untuk tujuan konversi sebelum dikukuhkan. Ini secara hukum merupakan persoalan karena kawasan-kawasan tersebut bisa saja terdapat hak lainnya dan oleh karena itu Negara seharusnya tidak memberikan kawasan tersebut kepada pihak ketiga. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa 23 juta hektar kawasan hutan telah dialih-fungsikan menjadi kawasan bukan hutan yang sebagian besar adalah untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit tetapi hanya 6 juta hektar yang benar-benar ditanami kelapa sawit. Proses ini masih sedang terjadi.

Studi Kasus Menunjukan Perbedaan dalam Penafsiran Hukum ditingkat Propinsi

Penelitian ini jelas menunjukan bagaimana masyarakat adat di 6 (enam) wilayah studi kasus benar-benar menikmati hak-hak atas wilayah dan pemerintahan sendiri melalui lembaga-lembaga adat berdasarkan hukum adat yang berlaku. Jelas sekali ditemukan kelompok yang mengatur tanah sebagai hak milik bersama (tanah ulayat) tunduk kepada aturan yang mengatur kepemilikan tanah, jual beli tanah dan keanggotaan kelompok.

Walaupun begitu, penelitian ini juga menunjukan setiap propinsi sangat beragam dalam kaitan pemerintah daerah menerima hak atas tanah pada masyarakat lokal selain berkerja dalam kerangka hukum nasional. Di Kalimantan Barat, hak ulayat tanah adat diberikan sedikit pengakuan yang sebagian besar diakui sebagai hak pakai atas tanah Negara. Di Lampung, hak ulayat diterima dalam pengadilan adjudikasi tetapi administrasi pemerintahan jarang sekali mengakui hak komunitas pada tanah sebaliknya lebih memilih mengeluarkan status hak milik perorangan kepada warga desa. Di Sumatra Barat, sebaliknya, pemerintah propinsi mengakui hak tanah ulayat milik bersama dan jurisdiksi kelembagaan adat sebagai lembaga pemerintahan sendiri (Nagari) dan komunitas diperlakukan sebagai pemegang/pemilik hak.

Pelecehan Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Studi kasus mengungkapkan bahwa masyarakat setempat mengalami persoalan serius dan sebagian besar mengalami konflik atas tanah dengan perusahaan. Muncul perasaan ditengah masyarakat bahwa mereka ditipu atas tanah mereka, dijebak dalam kesepakatan melalui janji-janji palsu serta mengabaikan suara mereka dalam proses pembuatan kebijakan. .

Kegagalan Hukum dan Kerangka Kebijakan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa proses-proses yang mengarah pada pelanggaran hak-hak dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit bersumber dari:
1. Kontradiksi hukum, gagal menjamin hak masyarakat adat namun pada saat yang sama terus mendorong pengambil-alihan lahan untuk proyek-proyek komersial atas nama ‘kepentingan nasional’
2. Tidak ada peraturan, mengakibatkan tata-cara untuk pengakuan terhadap hak-hak kolektif masyarakat hukum adat tidak jelas;
3. Lemahnya kapasitas kelembagaan, birokrasi badan pertanahan baik ditingkat daerah dan pusat membuat pengakuan terhadap hak ulayat (adat) sulit;
4. Kebijakan pusat dan daerah serta proses perencanaan tata ruang mendukung konversi terhadap tanah-tanah ulayat dan hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pusat.


Tantangan Rekomendasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai lembaga tertinggi dalam legislasi Negara mengakui pentingnya perubahan hukum Indonesia yang berkaitan dengan pertanahan dan sumber daya alam, dan khususnya terhadap adat. Oleh karena itu, penelitian ini membuat beberapa saran konkrit tentang reformasi hukum yang mendasar penting untuk memberikan perubahan nyata ini melalui:
1. Penyeimbangan kontrol hak negara dengan penghargaan sebesar-besarnya bagi hakhak masyarakat sehingga kepentingan masyarakat aman dari kegiatan pembangunan nasional;
2. Menghapus berbagai hambatan terhadap pengakuan hak ulayat dalam UUPA, UU Kehutanan dan UU perkebunan;
3. Menilai kembali status hukum kawasan hutan dan batas-batas konversi untuk menentukan kawasan mana yang sesungguhnya adalah tanah-tanah masyarakat;
4. Membuat undang-undang bagi perlindungan masyarakat adat untuk menjamin hakhak konstitusi yang belum dijamin oleh undang-undang lainnya;
5. Menerapkan prosedur yang mewajibkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent) dari masyarakat hukum adat sebagai prasyarat perizinan perkebunan kelapa sawit pada tanah-tanah mereka.

Langkah Menuju Keadilan

Penelitian ini mengakui bahwa reformasi hukum akan memerlukan waktu dalam merumuskan dan menerapkannya. Dimasa perbaikan hukum tersebut, diperlukan mekanisme yang dikembangkan untuk menyelesaikan konfl ik yang sedang terjadi antara
perusahaan dan masyarakat, memperlakukan masyarakat sebagai pemilik tanah dan perundingan untuk pembayaran ulang atau kompensasi untuk tanah yang telah diambil secara tidak adil. Mekanisme-mekanisme semacam inilah yang sesungguhnya diperlukan oleh standar RSPO.

Temuan-temuan dari penelitian adalah bahwa sangat sedikit perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mungkin dapat memenuhi standar RSPO, dalam jangka pendek. Sesungguhnya kebijakan dan kerangka hukum menerapkan proses pengadaan lahan dan pembangunan perkebunan sangat bertolak-belakang dengan standar RSPO. Hukum dan kebijakan Indonesia menolak hak ulayat/adat, mendorong sanksi negara atas pencaplokan
lahan, dan mengabaikan prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Jika pendekatan pembangunan perkebunan yang diterapkan sekarang ini tidak berubah, maka minyak sawit Indonesia yang diproduksi ‘tidak berkelanjutan’ akan dikeluarkan dari pasar-pasar internasional.

Sebagai intermezo terakhir, “sipak ka pulang”, setelah kening berkerut membaca resume penelitian yang menghasilkan buku tanah yang Dijanjikan/Promise Land ini, si “Parewa” ingin menyampaikan satu lagi pengalaman penelitian ini. Mungkin kegelian anda akan berubah menjadi terpingkal-pingkal ketika si “Parewa” meminta si penterjemah menjelaskan pada si Doktor untuk hati-hati plus dengan segala persyaratan yang tidak di pahami dunia barat, ketika bertamu ke rumah seorang lawan masyarakat karena ia mempunyai ilmu kebatinan tingkat tinggi, betapa membingungkan. Disitulah hebatnya sipenterjemah, entah bagaimana dia menjelaskan, yang jelas keluar dari tempat itu tak kurang satu apapun, meskipun harus juga keluar segala tipu dan kelit, sekalian dengan reiki membungkus tubuh.

Catatan
1. Substansi tulisan singkat ini berasal dari eksekutif summary buku Tanah Yang Dijanjikan, jadi bukunlah milik penulis saja, jadi kalau akan dikutip, silahkan kutip langsung di bukunya.
2. Parewa adalah satu golongan pemuda di Minangkabau pada jaman dulu.
3. Cimeeh adalah Cemooh
4. Kampuang Nan Jauah Dimato adalah Kampung Yang Jauh Dari Mata
5. Anak Dagang adalah perantau
6. Sato Sakaki dalam bahasa Indonesia Ikut Se Kaki, artinya ikut sedikit.
7. Khusus untuk catan lengkap mengenai salah satu contoh konflik perkebunan di Sumatera Barat, baca ”Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang” di http://andikosutanmancayo.blogspot.com/

No comments: