Friday, November 17, 2006

Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam Dari Lubuak Pudiang (tamat)

III. Beberapa Kesimpulan Sementara

Dari uraian-uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sementara tentang kasus perkebunan di Nagari Kapar Kab. Pasaman, Sumbar.
1. Investor perkebunan diberikan kemudahan oleh Hukum Positif nasional dan Aparatur pemerintahan pada saat awal perkebunan dibangun di Pasaman. Secara tidak langsung hukum positif hukum positif memberikan fasilitas dan perlindungan yang maksimal terhadap investor perkebunan. Sedangkan perlindungan hak masyarakat sangat minim sekali. Tindakan aparatur pemerintah juga memberikan ruang sangat luas bagi investor perkebunan.
2. Pendekatan yang dilakukan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah dengan memberikan keistimewaan dan fasilitas terhadap pemodal dengan harapan akan diikuti dengan dampak ikutan yang akan mensejahterakan masyarakat disekitarnya. Tetapi ternyata teori ini keliru, atau paling tidak teori ini tidak terlaksana sepenuhnya.
3. Elit-elit lokal seperti beberapa ninik mamak pemegang posisi kunci dalam pengambilan keputusan pengelolaan dan alokasi ulayat ikut tergerus dalam pusaran besar penetrasi modal perkebunan di daerahnya. Dalam konteks ini dapat dikategorikan beberapa golongan ninik mamak tersebut;
a. Ninik mamak yang secara sadar menolak keberadaan perkebunan besar, tetapi karena kuat dan masifnya tekanan, menyebabkan golongan ini tersingkir.
b. Ninik mamak yang hanya mengikuti arus saja.
c. Ninik mamak yang menjadi aktor dan memanfaatkan situasi dan posisinya untuk kepentingan pribadinya. Tapi jika melihat keinginan mereka untuk kembalinya tanah ulayat setelah HGU perkebunan habis, timbul satu dugaan, pada tahap awal mereka juga tidak mendapat informasi yang cukup tentang aturan-aturan yang berlaku pada perkebunan, tertipu dan pada akhirnya ketika melihat jumlah uang ”siliah jariah” yang sangat banyak pada saat itu, menyebabkan mereka menikmati ketertipuannya. Bahkan secara tidak langsung juga mendorong mereka untuk melakukan pelepasan demi pelepasan tanah ulayat pada berbagai pihak, karena sudah merasakan kenikmatan mempunyai uang banyak.
4. Dalam proses pelepasan lahan, ninik mamak memaksakan diri sebagai wakil penuh dari masyarakat atau anak kemenakannya, sehingga pelepasan lahan dilakukan tanpa persetujuan yang utuh dari anak kemenakan dan dalam beberapa kasus, pelepasan dilakukan tanpa persetujuan dari anak kemenakan. Akibatnya, berbagai tuntutan lahir sampai hari ini.
5. Peraturan hukum positif dan aparatur pemerintah memberikan ruang bagi pelepasan hak ulayat tanpa dukungan dan persetujuan anak kemenakan ini. Fakta ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya aturan maupun kebijakan pemerintah yang mengharuskan adanya bukti tertulis musyawarah antara ninik mamak dan anak kemanakan sebelum dokumen pelepasan hak ulayat ditandatangani oleh ninik mamak sebagai wakil dari anak kemenakan pemegang hak ulayat.
6. Dalam pengelolaan plasma, juga terjadi masalah yang berhubungan dengan manajemen misalnya tidak transparannya KUD sebagai pengelola plasma kepada anggotanya dan terjadinya pemberian hak plasma kepada orang-orang yang dulunya bukanlah pemegang hak ulayat atas tanah plasma tersebut (jual beli lahan plasma).
7. Pemerintah Daerah juga seperti kehilangan akal untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada karena kurangnya sumberdaya manusia. Kurangnya sumberdaya manusia ini menyebabkan inofasi-inofasi media dan alternatif solusi penyelesaian konflik menjadi terbatas. Apalagi pemerintah daerah tidak mempunyai skenario yang lain selain mempertahankan perkebunan besar di Pasaman.
8. Perusahaan tidak mau bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul dilapangan dengan alasan mereka telah memenuhi semua prosedur hukum yang berlaku. Perbaikan tindakan akan dilakukan sepanjang adanya aturan-aturan yang mengatur tentang itu.
9. Terdapat tingkatan tuntutan masyarakat dalam konflik-konflik perkebunan di Pasaman ini. Pertama kelompok masyarakat yang menuntut agar tanah ulayatnya dikembalikan karena sejak awal mereka memang tidak setuju dengan adanya perkebunan dan kedua, kelompok masyarakat yang menuntut pembagian plasma.

No comments: