Thursday, November 16, 2006

Surat Pucuk Jati Wa Ode Nuka Kepada Paman Yones Koanfora Pellokila; Catatan Kedua Perjalanan Ke Kontu

Surat Pucuk Jati Wa Ode Nuka Kepada Paman Yones Koanfora Pellokila;
Catatan Kedua Perjalanan Ke Kontu

Paman, hari ini temanmu sipejalan itu singgah lagi. Kukira ada dua mata seperti sihir meluruhkan hati, hingga pada perjalanan panjangnya, ia tersandung disini. Matahari telah meredup sore ini dan dada-dada penuh kerinduan membekabnya dalam. Lambaian dan peluit kapal yang merapat di pelabuhan menggamit kesadaran. Apakah kegelisahan yang datang, ataukah perantau yang sepi membawa cerita indah surau-surau persinggahannya. Pada punggungnya bergantungan beberapa buku, komik dan baju-baju untuk ibu. Sepanjang malam kuurai ketakjupan pada lembar demi lembar, lembaran donal bebek, miki dan banyak lagi. Sejenak rasa hangat mendekat dan aku lupa lengkingan lonceng perang, penjaga tanah kontu. Tapi semuanya tentulah tak merubahku, tetap saja, aku Wa Ode, Nuka sigadis kecil dari Kontu.

Paman, sepanjang malam banyak hal yang kami bahas. Sementara lampu petromax, satu-satunya di kawasan ini mulai meredup kehabisan minyak. Mata kami tajam membaca koran pagi yang memberitakan permintaan pengusiran dari kehutanan terhadap kami, karena hakim telah memutuskan tanah ini tanah negara katanya. Karena itu, polisi harus menggusur kami. Aku tak mengerti.

Paman, ketika tanah ini menjadi tanah negara, apakah kami serta merta kehilangan hak hidup ?. Kalau begitu, hiduplah negara ini tanpa kami !. Karena sesungguhnya kami diantara ada dan tiada.

Sebagai orang-orang tak bernama di negeri ini, kami semakin paham bahwa hukum tidak bekerja diruang hampa. Sebagai sebuah produk politik, hukum telah bekerja untuk mengusir kami, karena kami bukanlah pemegang kekuasaan politik. Sebagai ruang sosial, jati ini hanyalah sebagai penanda pertarungan hukum kami dan hukum negara dan pada titik itulah ia menjadi raksasa yang menelan hukum kami, hingga kami telanjang tak berbenteng.

Apakah kepastian hukum itu ?. Apakah kepastian hukum itu adalah pemenjaraan sebagai akibat mencangkuli tanah hutan. Karena seperti itulah yang tergores dalam naskah Undang-Undang Kehutanan. Apakah kepastian itu telah berubah menjadi hantu-hantu yang menjaga kawasan tak berkayu. Apakah kepastian itu boleh juga berasal dari kami sebagai pewaris syah tanah rebutan ini. Sebagai alat rekayasa sosial, hukummu akan menjadikan kami komunitas yang terusir.

Malam telah meninggi paman. Tetapi adreanalinku untuk mendebatkan hukum kalian, membendung kantukku. Desau angin dingin yang menggaruk dinding bambu rumahku seperti mengantarkan DR. Sulistyo Irianto ada disini. Aku saksikan senyum tipisnya bergumam pada piring-piring bekas ikan bakar, ikan asin dan sayur kelor, Nuka..., mitos-mitos State Law telah terhampar di halaman. State Law sebagai hukum yang terintegrasi dan sistematis, dengan Law inforcementnya berlangsung baik, berlaku adil (tidak memihak), Up to date, dapat menyelesaikan berbagai permasalahan hukum masyarakat dan dapat mengakomodasi the other laws ternyata hanya dongeng semata dan dongeng itu paman, lebih menakutkan dari dongeng tentang penyerangan para lanun lautan ke negeri kami yang setiap malam di ceritakan oleh ibuku.

Paman, La Kundofani si Kino Watoputhi, si penolong itu telah kehilangan silatnya. Pertarungan telah berakhir pada pemaknaan keadilan dan makna itu menjadi mekanis dan milik para pemenang. Pisau kecil penuh bisa, tak lagi mempan membunuh musuh. Sebagai monster yang lahir dari rahim positifisme, secara nalar deduktif silogisme atau deduktif mekanik, hidup kami diukur sepanjang Undang-Undang.

Seperti kata paman Rikardo, Hukum adalah ius yang dituliskan, dipositifkan, diconstitutumkan. Hanya ius yang dipostifkan dianggap sebagai hukum karena bisa ditangkap dengan panca indera dan karena ia dituliskan. Ius yang tidak dituliskan (lege), bukanlah hukum melainkan norma positif atau bukan hukum (unlaw) . Karenanya hukum kami, hukum adat kami telah menjelma menjadi semak dipinggir jalan. Tentu harus dirambah agar jalan mainstreem itu terang benderang dan menyilaukan kami.

Paman, sebagai penjajah, Belanda ternyata lebih baik. Sebagai perampok kedaulatan, ia cukup baik mengakui hukum kami. Meskipun itu hanyalah penyembunyian dari ketidakmampuan administratif meraka. Tahukah paman, terdapat banyak catatan di negeri ini, ketika penjajah meminjam tanah secara santun pada kami, barulah setelah itu mereka mendapat perlindungan hukum negeri kolonial untuk melindungi mereka berkebun atau menambang.


Tahukah paman seorang JA Papers harus membayar sewa tanah pada Datuk Basa Mangun untuk NV Boekit Gompong dan setiap bulannya dengan menunggang kuda putih, sang datuk dengan gagahnya sebagai penguasa ulayat meminta sewa tanah. Tahukah paman pada surat peminjaman tanah itu, JA Paper tidaklah bertanda tangan, karena ia dianggab tidak setara dengan penguasa tanah. Tetapi kenapa kemudian tanah erfpach itu di konfersi menjadi tanah negara.

Paman, kemerdekaan telah berniat menjadi mesin yang menjuice kami menjadi masyarakat Indonesia seutuhnya. Mungkin seperti juice diwarungmu yang mencampur adukakan mangga dengan manggis ditambah jerus dan entah essen apa lagi. Demikian juga hukum kami telah di juice, disentralisasikan menjadi satu ditangan negara, menjadi hukum negara yang superior yang harus berlaku, mengalahkan hukum-hukum yang telah kami warisi.

Sebagai bentuk baru dari ke Indonesiaan kami, maka salah satunya hukum pertanahan dinyatakan berakar dari hukum adat dan kami diakui sepanjang kami masih ada. Karena nasionalisme tak menghendaki lagi aura kolonialisme dan hukum kami secara merata telah mendapat cap feodal sehingga dualisme itu mesti diakhiri.

Tetapi ketika ulang tahun negeri ini telah sampai pada deret angka enam puluh, pluralitas itu tak hangus menjadi abu. Meskipun banyak undang-undang telah lahir demi mereproduksi kami menjadi masyarakat Indonesia dalam satu bentuk yang diinginkan kekuasaan, kami tetap ada. Dan hari ini ketika kearoganan kekuasaan runtuh, pluralitas itu muncul satu persatu mengoyak bungkus, seperti tulang konro dibungkus daun talas.

Apakah negeri ini telah gagal membentuk ke Indonesiaan paman?. Barangkali tidak, kami tetap mencintai negeri yang di bangun dengan darah dan air mata ini. Tetapi satu yang harus dicatat, negeri ini nyaris gagal mengelola pluralitas secara elegan sehingga semua orang bisa hidup berdampingan dengan damai dan yang terpenting perspektif keadilan yang dipaksakan, menorehkan luka yang semakin dalam pada hati kami.

Paman, sebagai komunitas independen, kami telah kehilangan identitas dan ketahanan. Seperti yang Uda Yando katakan, kami telah ”Abih Tandeh”. Mungkin aku hanya bisa menumpang sumpahan pada UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan desa. Tapi taklah berguna marah pada setumpuk kertas, karena aku akan menuntut para pembuatnya dan para pembuat undang-undang lain. Sebagai ahli hukum atau merasa seolah-olah ahli hukum sebgaian dari mereka telah demikian setia melayani kekuasaan sampai hari ini.

Pada pandangan sederhanaku, sebagai ahli hukum tentulah ahli membedakan mana yang baik dan buruk. Tetapi bisa membedakan saja tidaklah cukup, karena tentulah ia harus bersikap apabila menurutnya jika ia membuat itu, akan terjadi sesuatu yang buruk. Tetapi ternyata tidak demikian paman, demikian lama sebagian para intelektual itu menjadi penyokong kekuasaan, dan sebagian lain yang bertahan terseok-seok terpinggirkan. Tapi jaman keras itu ternyata lebih baik paman, dimana orang hanya tergolong pada pendukung dan tidak mendukung. Namun hari ini, sangat sulit dibedakan mana yang mendukung dan mana yang tidak, karena wajahnya berubah-ubah. Mungkinkah karena banjirnya sinetron paman ?.

Malam semakin larut juga paman. Ini kokok ketiga ayam di kandang. Perempuan cantik itu telah kelelahan, lihatlah segala rahasia berlari pada dengkurnya. Baiklah, kita lanjutkan paman. Dalam situasi interaksi state law dan other law itu paman, kami telah menjadi bulan-bulanan pada situasi weak legal pluralism. Pada posisi ini, seperti kata Griffiths sebagai bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara, kami telah sampai dideretan angka enampuluh dikalahkan paman.

Paman, sudahlah mungkin saja kau bosan berteori. Kalau begitu jika kau tanyakan padaku, hai...Nuka...bagaimanakah tanah sengketa ini bisa diselesaikan ?. Maka aku akan jawab begini. Jikalah hukum memang masih mungkin berjalan sebagaimana cita-citanya, maka tanah kontu harus ada pada kami. Sebab, selain kamilah pewaris syah dari La Kondofani Si Kino Watu Putih, pada kami juga para berada orang-orang tak bertanah. Karena itulah negara selain mengakui hak adat kami, tetapi juga sekaligus membagi-bagikan tanah ini pada tetangga-tetangga kami yang tak bertanah.

Apabila kami diakui sebagai masyarakat adat pemegang otoritas atas tanah ini, apakah itu melalui perda, maka kami akan membagikan tanah ini kepada saudara-saudara kami. Apabila bentangan tanah ini betul ditunjuk sebagai kawasan lindung, tolong evaluasi penunjukan itu, sebab tak ada stupun pohon ada disana dan tidak layak ada hutan lindung pada perkampungan kami yang hanya lima menit saja dari pusat kota, dari rumah bupati kami. Setelah di evaluasi, turunkan status kawasan ini menjadi Hutan Produksi Konfersi (HPK) dan biarkan kami berumah dan berkebun disini. Tetapi jika seperti yang diberitakan koran bahwa tanah ini adalah tanah negara, maka biarlah kami berurusan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Agar kami bisa meminta hak atas tanah melalui program land reform (land distribution). Tetapi itu semua baru akan terjadi paman, setelah kami merebut sendiri hak kami. Karena sepertinya tidak akan ada hak tanpa berjuang, karena ternyata konstitusi baru bekerja, setelah melihat darah kami tumpah.

Paman, aku ingin tidur. Kegelisahanku pada hukum berhenti sementara pada titik di akhir suratku. Mungkin demikian juga kau. Esok pagi ketika matahari yang sama datang ketempatku dan tempatmu, kita akan berhamburan menyongsong hidup. Aku akan kesekolah lagi dengan tas baru hijau yang baru saja kau kirimkan. Kaupun akan berkutat dengan ceker, mengolahnya dan menjualnya. Meskipun pada kedatangan kali ini kau tetap saja tidak ada, tapi sesungguhnya kau ada di hati kami. Yakinlah, karang itu tetap berdiri kokoh di teluk Raha, tak rubuh dihempas ombak, menanti keadilan dan rasa aman.



Jakarta 8 September 2006


Tulisan ini diabdikan bagi anak-anak korban konflik tenurial kawasan hutan & konflik agraria lain yang terpaksa menyimpan kenangan penggusuran, pembakaran & kekerasan yang menimpa keluarganya. Ada 40-60 Juta orang hari ini hidup dalam kawan hutan yang tenurialnya tidak jelas. Mereka hanya berarti sampai angka statistik saja.







No comments: